Jumat, 13 November 2009

Makalah Korupsi ( Analisa dari sisi Manajemen )

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Belakangan ini banyak sekali pejabat daerah yang tersandung masalah hukum akibat kasus korupsi. Mulai dari korupsi yang nilainya kecil sampai miliaran rupiah, pastinya kita sudah sering mendengar pelaku atau oknum yang melakukan korupsi di negara ini.
Otonomi daerah dilahirkan dalam semangat reformasi dan demokratisasi sebagai anti-tesis kekuasaan kekuasaan sentralistik Orde Baru. Dari sisi hukum, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004, mendesentralisasikan kekuasaan secara radikal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Karena itu, ketika secara resmi mulai digulirkan tahun 2001, masyarakat menyambut dengan antusias. Jarak yang semakin dekat antara masyarakat dengan pemerintah selaku penyelenggara kekuasaan negara di tingkat daerah, mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat. Banyak kelompok pengawas, Organisasi Non Pemerintah, lembaga penelitian dan kampus hingga kelompok aksi mahasiswa mulai mengarahkan perhatian pada persoalan di daerah.
Tetapi dalam prakteknya, otonomi daerah tak seindah yang dibayangkan. Kekuasaan yang didesentralisasikan secara radikal ternyata memunculkan praktek-praktek korupsi di tingkat lokal. Tidak dibayangkan sebelumnya, anggota DPRD bersama dengan eksekutif melakukan berbagai macam praktek korupsi. Dalam banyak kasus, perilaku korup itu dilakukan secara terbuka dan telanjang.
Masalah korupsi dalam makalah ini didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik atau swasta untuk keuntungan pribadi, telah menjadi salah satu dilema yang paling abadi yang dihadapi oleh pemerintah sepanjang sejarah. Walaupun mungkin terdapat perbedaan-perbedaan dalam sifat dan cakupan dari perilaku korup, dan sejauh mana tindakan-tindakan anti korupsi ditegakkan, fenomena tersebut dapat ditemukan setiap saat dan dalam semua sistem politik. Korupsi memuat perilaku mereka yang bekerja di sektor publik dan swasta, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri dan/atau memperkaya mereka yang berdekatan dengannya, atau merangsang orang lain berbuat serupa dengan menyalahgunakan kedudukan yang mereka emban.

1.2. Pokok Permasalahan
Bagaimana memahami maraknya praktek korupsi di daerah dan upaya-upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasinya? Kita bisa mulai melihatnya dari pengertian korupsi. Secara umum, korupsi adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu. Dari pengertian ini, dapat dilihat bahwa variabel utama dalam korupsi adalah kekuasaan. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan, khususnya terhadap sumber daya publik, yang bisa melakukan korupsi.

1.3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan melihat korupsi dari sisi manajemen. Dalam makalah ini akan menyorot apakah terjadinya korupsi disebabkan oleh buruknya manajemen pada suatu organisasi dan bagaimana mengatasi korupsi dari sudut panjang manajemen.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Essensi Korupsi.
Pengertian korupsi yang disempurnakan Bank Pembangunan Asia dari konsep Transparency International, suatu lembaga swadaya masyarakat internasional yang mencakup 60 negara dan menspesialisasikan diri pada usaha pemberantasan korupsi di dunia. Pengertian kunci dalam pengertian korupsi ini adalah:
1. Pelaku yang terlibat dalam korupsi terdapat di kalangan pemerintah (pegawai negeri), swasta (pengusaha) maupun politik(politisi);
2. Mereka berperilaku memperkaya diri atau yang berdekatan dengannya atau merangsang orang lain memperkaya diri. Pengertian memperkaya diri tidak saja dalam makna harta tetapi juga kekuasaan.
3. Cara yang dipakai adalah tidak wajar dan tidak legal dengan menyalah gunakan kedudukannya.
Sesuai dengan kedudukan pelaku korupsi maka nilai uang atau barang yang terlibat di dalamnya bisa kecil sekedar "uang persenan" yang bisa diberikan ikhlas sebagai tanda terima kasih dan dikenal dengan "smiling money", tetapi bisa pula terpaksa diberikan sebagai prasyarat pelayanan dan dikenal dengan "crying money".

2.2. Pola Kegiatan Korupsi
Kerakusan dan membiarkan perilaku korupsi adalah seperti seseorang yang menunggang macan. Orang yang rakus dan korup itu akan berada di atas sebuah perkembangan kehidupan yang bisa jahat terhadap dirinya. Ibarat menaiki macan, jika ia turun bisa saja ia dicakar si raja hutan. Sebaliknya bila ia terus, ia mungkin saja tak akan bisa mengendalikannya, sampai ia tersungkur ke dalam jurang yang dalam. Bila suatu saat ketahuan ia bertindak korup, imbalannya sangat berat. Ia akan diisolasi dan dianggap sampah terbau oleh masyarakat yang mendamba kejujuran. Kewenangan lembaga-lembaga Pemerintah membelanjakan anggarannya pada berbagai proyek, baik dari anggaran rutin maupun anggaran pembangunan, membuka peluang untuk berkorupsi. Dan ini bermula pada tahap perencanaan di lembaga-lembaga perencanaan nasional, departemental maupun di lingkungan pemerintah daerah. Hak merencanakan alokasi dana untuk proyek terdapat di tingkat perencanaan ini, baik dana rupiah maupun dana valuta asing yang dibiayai dari kredit luar negeri. Maka yang pertama rawan korupsi adalah pada proses perencanaan yang dimulai dengan identifikasi proyek dan studi kelayakannya (feasibility study). Biasanya pemahaman teknis birokrat tentang spesifikasi proyek tidaklah tinggi sehingga memerlukan bantuan konsultan, maka disinilah tertanam benih korupsi, seperti dalam identifikasi macam, besaran dan lokasi proyek.
Oleh karena anggaran pembangunan pemerintah banyak dibantu kredit luar negeri maka masuknya proyek pembangunan dalam "Buku Biru" pemerintah yang diajukan ke Consortium Group on Indonesia (CGI) menjadi sangat penting. Dalam banyak hal peranan konsultan dari negara pemberi bantuan kredit luar negeri menjadi strategis. Kadang-kala pemerintah pemberi bantuan mempunyai kepentingan politik di dalam negerinya sendiri, seperti misalnya membantu produsen hasil pertanian. Maka hasil pertanian dikemas dalam proyek untuk ditawarkan pada negara berkembang, sehingga menyatulah kepentingan politik dalam negerinya dengan maksud membantu negara berkembang. Karena bantuan luar negeri berasal dari uang pajak rakyat, maka dukungan lembaga perwakilan di negeri pemberi bantuan menjadi sangat penting dan lahirlah kompromi dalam penyediaan dana bantuan pada negara berkembang. Bantuan bilateral kebanyakan negara asing bersifat "terikat" (tied aid) harus dibelanjakan di negeri pemberi bantuan yang berbeda dengan bantuan multilateral dari organisasi-organisasi internasional yang menerapkan tender internasional terbuka. Dalam menyusun spesifikasi proyek, terutama dengan "bantuan terikat" itu, bisa tumbuh kolusi antara konsultan dan supplier di negara pemberi bantuan, maka keharusan transparansi dalam hal identifikasi dan spesifikasi proyek merupakan ikhtiar strategis mengurangi kemungkinan korupsi.
Yang rawan korupsi kedua adalah dalam menyusun sistem, seperti sistem telpon, sistem telekomunikasi keamanan lalu-lintas kereta api, sistem pesawat terbang, kapal, pembatasan merk kendaraan, penetapan buku pelajaran wajib, penentuan kegiatan kesehatan yang bersifat massal seperti imunisasi dan yang serupa, oleh karena sekali sistem ditetapkan maka akan berlanjut pembelian berulang (repetitive procurement) dalam jumlah yang besar. Selain itu kegiatan rawan korupsi ketiga adalah tender, yang sering dipakai dalih untuk melakukan secara tertutup, terbatas atau selektif, misalnya dalam pembelian beras supaya tidak mempengaruhi harga pasar, karena pemasoknya terbatas, ingin menunjang pengembangan usaha pribumi, karena bersifat pembelian ulang, karena konsultan atau kontraktornya sudah dikenal, karena barangnya bersifat khusus. Yang menjadi masalah disini adalah bahwa sikap yang diambil terhadap tender adalah diskrit (discretionary) dan menutup transparansi sehingga menyulitkan pengecekan kewajarannya. Imbalan yang korupsi inipun sulit dilacak karena bisa dibukukan di bawah berbagai nama di berbagai bank luar negeri.
Kerawanan lain adalah wewenang pejabat memberi izin untuk berbagai kegiatan, baik di tingkat Pusat maupun Daerah atau dua-duanya, seperti izin lokasi dan izin prinsip yang diperlukan membeli tanah untuk membangun. Pola "ruislag" beli ganti tanah, hutan atau bangunan, lebih-lebih di lokasi strategis selalu diincer orang, karena "manfaat tersembunyi" (disguished benefit) sangat besar maka praktek ini sangat digemari para birokrat.
Selain itu kerawanan korupsi yang lain adalah mengisi Daftar-Isi-Proyek dan mencairkan dana uang atas dasar DIP ini. Besar kecilnya alokasi dana anggaran sangat ditentukan oleh DIP, yang semulanya berfungsi sebagai dokumen perencanaan yang menjelaskan apa, bagaimana, apabila dan di mana proyek dibangun? Semulanya berlaku kebiasaan meminta alokasi dana tanpa kejelasan untuk apa mau dipakai. Dokumen perencanaan DIP ini kemudian berkembang menjadi dokumen negosiasi memperoleh proyek sehingga membuka kesempatan untuk korupsi. Begitu pula dokumen untuk pencairan dana menjadi sangat berharga sehingga menjadi sasaran untuk "disunat."
Di samping hal-hal ini sangatlah penting keadaan pasar yang dikembangkan Pemerintah untuk berbagai barang atau pengusaha dengan praktek monopoli, oligopoli, sistem tata-niaga komoditi, proteksi, perlakuan khusus berupa keringanan pajak, bea masuk, devisa dan kredit perbankan, diberikannya hak kartel pada assosiasi swasta untuk bertindak sebagai penjual, pembeli atau penyalur tunggal dan hal-hal lain yang serupa yang dihimpun serta digunakannya dana "non-budgetar" oleh Pemerintah tanpa pertanggungjawabannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

JPIP ( Jawa Pos Institute of Pro Otonomi ) mengupayakan model monitoring untuk mendeteksi korupsi. Indikator ini sekaligus mengarahkan pemerintah daerah menuju pemerintahan yang bersih, yaitu:
a. Pertama, Indikator Sanitari Birokrasi. Dengan indikator ini akan dilihat seberapa bersih sebuah birokrasi yang dijalankan di daerah. Kebersihan yang dilihat meliputi pola-pola rekruitmen, penerapan sistem meritokrasi, sampai dengan proses-proses pembuatan keputusan strategis. Yang tidak kalah pentingnya, dalam indikator ini juga akan dinilai tentang program-program yang dibuat oleh pemerintah daerah agar kebersihan birokrasi segera dapat diwujudkan. Sebagai contoh, JPIP akan mengapresiasi tinggi daerah-daerah yang sudah mempunyai mekanisme fit and proper test untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintah daerah. Melalui survei publik, rakyat daerah juga akan diminta pendapatnya untuk menilai bersih-tidaknya birokrasi yang ada di daerahnya.
b. Kedua, Indikator Transparansi. Dengan indikator ini akan dilihat seberapa transparan pemerintah daerah dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program yang menyangkut pelayanan publik. Transparansi budget akan menjadi bobot yang tertinggi. Beberapa eksekutif di daerah masih ada yang berpikir bahwa APBD adalah dokumen rahasia yang rakyat tidak boleh tahu. Namun, ada beberapa daerah yang sudah berani mempublikasikan APBD-nya, baik itu yang dipasang pada papan-papan pengumuman di balai desa maupun dalam situs resmi mereka. Daerah-daerah yang mempunyai inisiatif dan inovasi program untuk mendorong pemerintahan yang transparan akan mendapatkan apresiasi yang tinggi. Terlebih jika daerah tersebut sudah mempunyai mekanisme baku, seperti perda yang menjamin hak-hak rakyat untuk mendapatkan informasi mengenai program dan anggaran yang akan dan sedang dijkalankan.
c. Ketiga, Indikator Akuntabilitas. Indikator ini akan digunakan untuk melihat apakah sebuah daerah sudah mempunyai mekanisme pertanggungjawaban publik yang memadai ataukah belum. Dalam hal ini akan dilihat apakah pemerintah daerah telah mempunyai mekanisme yang terlembagakan yang menjamin adanya pertanggungjawaban dari setiap penggunaan anggaran publik. Transparan saja tanpa ada pertanggungjawaban memungkinkan terjadinya pemborosan. Karena itu, dalam setiap program pemerintah daerah dituntut untuk memiliki semacam indikator pencapaian yang dipublikasikan secara luas dan bisa digunakan oleh masyarakat untuk menilai berhasil tidaknya sebuah program. Dengan indikator ini pula, masyarakar daerah akan dimintai pendapatnya untuk memberikan penilaian tentang praktik-praktik akuntabilitas yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
d. Keempat, Indikator Partisipasi. Selama ini, partisipasi yang dilakukan oleh rakyat di daerah baru sebatas partisipasi dalam hal perencanaan. Misalnya, dalam musyawarah pembangunan desa (Musbangdes) sampai dengan rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) di tingkat Kabupaten/Kota. Namun, partisipasi dalam hal pelaksanaan program sampai dengan evaluasi program bisa dipastikan nihil partisipasi rakyat. Pada tahap ini yang banyak berperan adalah dinas-dinas teknis dan DPRD. Di sinilah korupsi banyak terjadi.
Di samping itu, masih ada indikator-indikator lain yang terangkum dalam tiga parameter utama, yaitu pengembangan ekonomi, pelayanan publik, dan pelembagaan risiko politik lokal. Kesimpulannya, rakyat hanya dijadikan legitimasi, seolah-olah rakyat yang membutuhkan program tersebut. Sebab, pada saat perencanaan partisipasi warga masih diberi ruang. Karena itu, JPIP akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada daerah-daerah yang sudah mempunyai mekanisme partisipasi warga mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi program.
Berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara tentang seorang pencopet atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Karena sebagian besar dari masyarakat kita tidak menyadari dan tidak pernah dididik bahwa sebenarnya uang yang dicuri oleh para koruptor tersebut adalah miliknya juga, dan ada haknya di dalam yang hilang akibat perbuatan korupsi dari oknum tersebut. Ketika seseorang dari lingkungan kita yang mencoba untuk memberikan pengertian akan bahaya korupsi, seringkali malah ditertawakan dan dianggap aneh. Serta dianggap sok suci, sok tahu dan lebih ironis lagi dicap mau jadi pahlawan kesiangan.
Dalam kehidupan sosial sehari – hari, sebagian dari masyarakat kita bahkan merasa kagum terhadap kehidupan pencuri berbaju pelayan masyarakat tersebut, sementara kalau ada seseorang di lingkungannya yang karena sulitnya memperoleh penghasilan untuk membelikan beras sekilo untuk makan anak dan istrinya, karena khilaf, mencuri jemuran dan tertangkap, maka dapat dipastikan akan disingkirkan dalam kehidupan sosial oleh lingkungannya dan seringkali bahkan dianggap bagikan benda najis. Adalah kejadian yang menyedihkan dalam kehidupan bermasyarakat kita yang tidak menyadari, bahwa seorang maling Berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara tentang seorang pencopet atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Karena sebagian besar dari masyarakat kita tidak menyadari dan tidak pernah dididik bahwa sebenarnya uang yang dicuri oleh para koruptor tersebut adalah miliknya juga, dan ada haknya di dalam yang hilang akibat perbuatan korupsi dari oknum tersebut. Ketika seseorang dari lingkungan kita yang mencoba untuk memberikan pengertian akan bahaya korupsi, seringkali malah ditertawakan dan dianggap aneh. Serta dianggap sok suci, sok tahu dan lebih ironis lagi dicap mau jadi pahlawan kesiangan.
Sudah saatnya rakyat di negeri ini diberi pendidikan dan pengetahuan tentang akibat dari perbuatan korupsi yang dilakukan oleh oknum – oknum tertentu, bahwa perbuatan tersebut dapat menyengsarakan dan merugikan banyak orang, bukan hanya sekarang, tetapi anak cucu kita juga kebagian sengsaranya.

2.3. Korupsi dari sudut pandang manajemen
.
Dari sisi manajemen ada beberapa hal yang perlu diperbaiki untuk mengikis korupsi sedikit demi sedikit, yang mudah – mudahan pada waktunya nanti, perbuatan korupsi dapat diberantas dari negara ini atau sekurang – kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin, beberapa hal yang menurut pendapat kami pribadi adalah :
1. Sistem hukum yang berlaku, seharusnya dalam pelaksanaan sistem hukum negara kita jangan ada perbedaan perlakuan dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun, kalau maling ayam ketangkap masuk tahanan, sang pejabat yang ada bukti awal korupsi juga seharusnya segera dimasukkan dalam tahanan. Pelaku kriminal lainnya hanya boleh dibesuk pada jam dan waktu yang telah ditentukan, sang koruptor harusnya juga diperkakukan sama. Seringkali pihak aparat penegak hukumnya seolah – olah kalah wibawa dengan sang koruptor, jelas ini masalah moral dan mental yang perlu segera dibenahi.
2. Seleksi penerimaan Pegawai Negeri, Cara penerimaan pegawai negeri yang sampai hari ini tidak jelas ujung pangkalnya perlu sesegera mungkin dibenahi, dan dengan prinsip dasar transparan. Sehingga jelas apa dasar dan alasan seseorang diterima menjadi pegawai negeri, juga pengangkatan pejabat yang sampai hari ini masih kacau balau,
3. Undang – undang korupsi, yang berlaku saat ini, terlampau banyak celah dan kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh koruptor. Berlakukan undang – undang korupsi pembuktian terbalik dengan tambahan bahwa yang dapat dijerat dengan undang – undang ini termasuk keluarga sang pejabat.
4. Saluran terbuka untuk masyarakat, seringkali masyarakat mengetahui tentang adanya perbuatan korupsi, tetapi tidak tahu harus melapor kemana dan kepada siapa, juga ketakutan akan dijadikan saksi yang bakal merepotkan dirinya, perlu dipikirkan agar adanya akses langsung dari masyarakat luas kepada pihak yang betul – betul dapat menjamin dan melindungi pelapor, juga menindak lanjuti laporan tersebut, sehingga tidak menciptakan sikap masa bodoh dari masyarakat, seperti yang terjadi saat ini.
5. Sistem pendidikan, mungkin dapat dirancang untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan mulai setingkat SLTP, yang menanamkan kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya, juga menanamkan rasa memiliki negara ini, dengan mengajarkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan korupsi, akibatnya dan rasa kebenciannya terhadap korupsi.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Korupsi telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, walaupun dengan tingkat intensitas kasus yang berbeda-beda. Otonomi daerah hanya memberikan kekuasaan monopoli kepada pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan Legislatif) untuk mengelola sumber daya ekonomi yang rawan dengan penyelewengan karena tiadanya intervening factor yang secara fungsional mempunyai daya kontrol terhadap kedua lembaga tersebut. Intervening factor ini adalah kekuatan-kekuatan masyarakat yang terorganisir di daerah. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat tidak diwujudkan.
Konsepsi desentralisasi yang berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran pada akhirnya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah hanya kepada elit dan atau politisi lokal yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Praktek korupsi paska otonomi daerah yang kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor menggambarkan ironi desentralisasi sebagaimana telah digambarkan diatas. Tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah, yaitu:
1. Program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
2. Tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, Bupati/Walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan secara langsung dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.
3. Legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digaris bawahi bahwa adanya lembaga kontrol seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang.
Dari seluruh pemaparan mengenai kasus korupsi dalam makalah ini, maka kiranya:
1. Otonomi Daerah dalam perspektif pemerintah adalah otonomi administrasi dan otonomi financial yang telah mengabaikan desentralisasi dalam kerangka politik. Oleh karenanya, dua hal penting dalam desentralisasi demokratik yakni partisipasi dan akuntabilitas tidak menjadi visi praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah.
2. Desentralisasi tanpa desentralisasi demokratik melahirkan monopoli atas sumber daya ekonomi daerah oleh elit lokal (legislative dan eksekutif) mengandung bahaya yakni penyelewengan kekuasaan dan korupsi.
3. Korupsi pada tahun 2004 di Indonesia menunjukkan penyebaran yang meliputi hampir sebagian besar wilayah Indonesia.
4. Dari sisi modus korupsi, selama kurun waktu 1999-2004 tidak ada yang mengalami perubahan, kecuali korupsi yang dilakukan oleh DPRD dengan menggunakan payung hukum. Oleh karenanya, korupsi DPRD sering disebut sebagai korupsi yang legal atau legalisasi korupsi.
5. Resistensi dari pelaku korupsi atas gerakan masyarakat yang menuntut penanganan hukum atas mereka, semakin mengkhawatirkan karena telah adnya penggunaan instrumen kekerasan dan hukum.
6. Aparat penegak hukum belum menganggapi serius penggunaan instrumen kekerasan oleh para pelaku korupsi sehingga sampai hari ini kasus-kasus kekerasan yang menimpa aktivis anti-korupsi tidak disikapi sebagaimana mestinya. Padahal jika praktek kekerasan ini dibiarkan, maka akan memicu pihak-pihak lain untuk menggunakan cara yang sama.
Strategi pembaharuan yang harus dan perlu dilakukan dalam bidang SDM yaitu:
1). Menyiapkan SDM yang mampu mengelola atau melakukan manajemen secara profesional dan komprehensif;
2). mengembangkan jabatan fungsiolal pengelola kepegawaian;
3). menyusun rencana kebutuhan SDM aparatur pemerintah untuk jangka menengah dan jangka panjang;
4). menyiapkan serangkaian kebijakan untuk melaksanakan fungsi-fungsi Manajemen.


4.1. Saran

Dalam memberantas korupsi di Indonesia, mesti memperhatikan bebrapa hal, yaitu:
1. Agar orang tidak mau korupsi dapat dilakukan dengan pendidikan agama, agama apa saja. Pendidikan agama sekarang agaknya belum akan menghasilkan orang anti-korupsi. Pendidikan agama harus diperbaiki.
2. Agar sistemnya jadi sulit ditembus, sempurnakanlah sistem itu. Korupsi di kita dapat diberantas dengan membuat sistem anti-korupsi, diikuti penegakan hukum. Hukumnya tidak usah digantung, namun langsung dihukum saja.
3. Melibatkan semua publik dapat memberikan masukan dalam pembuatan rencana penerbitan Perppu, Perda, APBD dan lain sebagainya.
4. Semua birokrat, aparat keamanan atau pejabat negara, harus menghentikan kebiasaan menyetor dan menerima setoran. Sebab, hal seperti itu merupakan salah satu sebab terjadinya korupsi yang merugikan uang negara di Indonesia ini. "Hentikan kebiasaan bawahan menyetor ke atasan, atasan hentikan kebiasaan menerima setoran dari bawahan"!!!