Jumat, 13 November 2009

Makalah Korupsi ( Analisa dari sisi Manajemen )

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Belakangan ini banyak sekali pejabat daerah yang tersandung masalah hukum akibat kasus korupsi. Mulai dari korupsi yang nilainya kecil sampai miliaran rupiah, pastinya kita sudah sering mendengar pelaku atau oknum yang melakukan korupsi di negara ini.
Otonomi daerah dilahirkan dalam semangat reformasi dan demokratisasi sebagai anti-tesis kekuasaan kekuasaan sentralistik Orde Baru. Dari sisi hukum, UU No.22 tahun 1999 dan UU No.25 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004, mendesentralisasikan kekuasaan secara radikal dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Karena itu, ketika secara resmi mulai digulirkan tahun 2001, masyarakat menyambut dengan antusias. Jarak yang semakin dekat antara masyarakat dengan pemerintah selaku penyelenggara kekuasaan negara di tingkat daerah, mendorong tumbuhnya partisipasi masyarakat. Banyak kelompok pengawas, Organisasi Non Pemerintah, lembaga penelitian dan kampus hingga kelompok aksi mahasiswa mulai mengarahkan perhatian pada persoalan di daerah.
Tetapi dalam prakteknya, otonomi daerah tak seindah yang dibayangkan. Kekuasaan yang didesentralisasikan secara radikal ternyata memunculkan praktek-praktek korupsi di tingkat lokal. Tidak dibayangkan sebelumnya, anggota DPRD bersama dengan eksekutif melakukan berbagai macam praktek korupsi. Dalam banyak kasus, perilaku korup itu dilakukan secara terbuka dan telanjang.
Masalah korupsi dalam makalah ini didefinisikan sebagai penyalahgunaan jabatan publik atau swasta untuk keuntungan pribadi, telah menjadi salah satu dilema yang paling abadi yang dihadapi oleh pemerintah sepanjang sejarah. Walaupun mungkin terdapat perbedaan-perbedaan dalam sifat dan cakupan dari perilaku korup, dan sejauh mana tindakan-tindakan anti korupsi ditegakkan, fenomena tersebut dapat ditemukan setiap saat dan dalam semua sistem politik. Korupsi memuat perilaku mereka yang bekerja di sektor publik dan swasta, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri dan/atau memperkaya mereka yang berdekatan dengannya, atau merangsang orang lain berbuat serupa dengan menyalahgunakan kedudukan yang mereka emban.

1.2. Pokok Permasalahan
Bagaimana memahami maraknya praktek korupsi di daerah dan upaya-upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasinya? Kita bisa mulai melihatnya dari pengertian korupsi. Secara umum, korupsi adalah penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu. Dari pengertian ini, dapat dilihat bahwa variabel utama dalam korupsi adalah kekuasaan. Hanya mereka yang memiliki kekuasaan, khususnya terhadap sumber daya publik, yang bisa melakukan korupsi.

1.3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan melihat korupsi dari sisi manajemen. Dalam makalah ini akan menyorot apakah terjadinya korupsi disebabkan oleh buruknya manajemen pada suatu organisasi dan bagaimana mengatasi korupsi dari sudut panjang manajemen.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Essensi Korupsi.
Pengertian korupsi yang disempurnakan Bank Pembangunan Asia dari konsep Transparency International, suatu lembaga swadaya masyarakat internasional yang mencakup 60 negara dan menspesialisasikan diri pada usaha pemberantasan korupsi di dunia. Pengertian kunci dalam pengertian korupsi ini adalah:
1. Pelaku yang terlibat dalam korupsi terdapat di kalangan pemerintah (pegawai negeri), swasta (pengusaha) maupun politik(politisi);
2. Mereka berperilaku memperkaya diri atau yang berdekatan dengannya atau merangsang orang lain memperkaya diri. Pengertian memperkaya diri tidak saja dalam makna harta tetapi juga kekuasaan.
3. Cara yang dipakai adalah tidak wajar dan tidak legal dengan menyalah gunakan kedudukannya.
Sesuai dengan kedudukan pelaku korupsi maka nilai uang atau barang yang terlibat di dalamnya bisa kecil sekedar "uang persenan" yang bisa diberikan ikhlas sebagai tanda terima kasih dan dikenal dengan "smiling money", tetapi bisa pula terpaksa diberikan sebagai prasyarat pelayanan dan dikenal dengan "crying money".

2.2. Pola Kegiatan Korupsi
Kerakusan dan membiarkan perilaku korupsi adalah seperti seseorang yang menunggang macan. Orang yang rakus dan korup itu akan berada di atas sebuah perkembangan kehidupan yang bisa jahat terhadap dirinya. Ibarat menaiki macan, jika ia turun bisa saja ia dicakar si raja hutan. Sebaliknya bila ia terus, ia mungkin saja tak akan bisa mengendalikannya, sampai ia tersungkur ke dalam jurang yang dalam. Bila suatu saat ketahuan ia bertindak korup, imbalannya sangat berat. Ia akan diisolasi dan dianggap sampah terbau oleh masyarakat yang mendamba kejujuran. Kewenangan lembaga-lembaga Pemerintah membelanjakan anggarannya pada berbagai proyek, baik dari anggaran rutin maupun anggaran pembangunan, membuka peluang untuk berkorupsi. Dan ini bermula pada tahap perencanaan di lembaga-lembaga perencanaan nasional, departemental maupun di lingkungan pemerintah daerah. Hak merencanakan alokasi dana untuk proyek terdapat di tingkat perencanaan ini, baik dana rupiah maupun dana valuta asing yang dibiayai dari kredit luar negeri. Maka yang pertama rawan korupsi adalah pada proses perencanaan yang dimulai dengan identifikasi proyek dan studi kelayakannya (feasibility study). Biasanya pemahaman teknis birokrat tentang spesifikasi proyek tidaklah tinggi sehingga memerlukan bantuan konsultan, maka disinilah tertanam benih korupsi, seperti dalam identifikasi macam, besaran dan lokasi proyek.
Oleh karena anggaran pembangunan pemerintah banyak dibantu kredit luar negeri maka masuknya proyek pembangunan dalam "Buku Biru" pemerintah yang diajukan ke Consortium Group on Indonesia (CGI) menjadi sangat penting. Dalam banyak hal peranan konsultan dari negara pemberi bantuan kredit luar negeri menjadi strategis. Kadang-kala pemerintah pemberi bantuan mempunyai kepentingan politik di dalam negerinya sendiri, seperti misalnya membantu produsen hasil pertanian. Maka hasil pertanian dikemas dalam proyek untuk ditawarkan pada negara berkembang, sehingga menyatulah kepentingan politik dalam negerinya dengan maksud membantu negara berkembang. Karena bantuan luar negeri berasal dari uang pajak rakyat, maka dukungan lembaga perwakilan di negeri pemberi bantuan menjadi sangat penting dan lahirlah kompromi dalam penyediaan dana bantuan pada negara berkembang. Bantuan bilateral kebanyakan negara asing bersifat "terikat" (tied aid) harus dibelanjakan di negeri pemberi bantuan yang berbeda dengan bantuan multilateral dari organisasi-organisasi internasional yang menerapkan tender internasional terbuka. Dalam menyusun spesifikasi proyek, terutama dengan "bantuan terikat" itu, bisa tumbuh kolusi antara konsultan dan supplier di negara pemberi bantuan, maka keharusan transparansi dalam hal identifikasi dan spesifikasi proyek merupakan ikhtiar strategis mengurangi kemungkinan korupsi.
Yang rawan korupsi kedua adalah dalam menyusun sistem, seperti sistem telpon, sistem telekomunikasi keamanan lalu-lintas kereta api, sistem pesawat terbang, kapal, pembatasan merk kendaraan, penetapan buku pelajaran wajib, penentuan kegiatan kesehatan yang bersifat massal seperti imunisasi dan yang serupa, oleh karena sekali sistem ditetapkan maka akan berlanjut pembelian berulang (repetitive procurement) dalam jumlah yang besar. Selain itu kegiatan rawan korupsi ketiga adalah tender, yang sering dipakai dalih untuk melakukan secara tertutup, terbatas atau selektif, misalnya dalam pembelian beras supaya tidak mempengaruhi harga pasar, karena pemasoknya terbatas, ingin menunjang pengembangan usaha pribumi, karena bersifat pembelian ulang, karena konsultan atau kontraktornya sudah dikenal, karena barangnya bersifat khusus. Yang menjadi masalah disini adalah bahwa sikap yang diambil terhadap tender adalah diskrit (discretionary) dan menutup transparansi sehingga menyulitkan pengecekan kewajarannya. Imbalan yang korupsi inipun sulit dilacak karena bisa dibukukan di bawah berbagai nama di berbagai bank luar negeri.
Kerawanan lain adalah wewenang pejabat memberi izin untuk berbagai kegiatan, baik di tingkat Pusat maupun Daerah atau dua-duanya, seperti izin lokasi dan izin prinsip yang diperlukan membeli tanah untuk membangun. Pola "ruislag" beli ganti tanah, hutan atau bangunan, lebih-lebih di lokasi strategis selalu diincer orang, karena "manfaat tersembunyi" (disguished benefit) sangat besar maka praktek ini sangat digemari para birokrat.
Selain itu kerawanan korupsi yang lain adalah mengisi Daftar-Isi-Proyek dan mencairkan dana uang atas dasar DIP ini. Besar kecilnya alokasi dana anggaran sangat ditentukan oleh DIP, yang semulanya berfungsi sebagai dokumen perencanaan yang menjelaskan apa, bagaimana, apabila dan di mana proyek dibangun? Semulanya berlaku kebiasaan meminta alokasi dana tanpa kejelasan untuk apa mau dipakai. Dokumen perencanaan DIP ini kemudian berkembang menjadi dokumen negosiasi memperoleh proyek sehingga membuka kesempatan untuk korupsi. Begitu pula dokumen untuk pencairan dana menjadi sangat berharga sehingga menjadi sasaran untuk "disunat."
Di samping hal-hal ini sangatlah penting keadaan pasar yang dikembangkan Pemerintah untuk berbagai barang atau pengusaha dengan praktek monopoli, oligopoli, sistem tata-niaga komoditi, proteksi, perlakuan khusus berupa keringanan pajak, bea masuk, devisa dan kredit perbankan, diberikannya hak kartel pada assosiasi swasta untuk bertindak sebagai penjual, pembeli atau penyalur tunggal dan hal-hal lain yang serupa yang dihimpun serta digunakannya dana "non-budgetar" oleh Pemerintah tanpa pertanggungjawabannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

JPIP ( Jawa Pos Institute of Pro Otonomi ) mengupayakan model monitoring untuk mendeteksi korupsi. Indikator ini sekaligus mengarahkan pemerintah daerah menuju pemerintahan yang bersih, yaitu:
a. Pertama, Indikator Sanitari Birokrasi. Dengan indikator ini akan dilihat seberapa bersih sebuah birokrasi yang dijalankan di daerah. Kebersihan yang dilihat meliputi pola-pola rekruitmen, penerapan sistem meritokrasi, sampai dengan proses-proses pembuatan keputusan strategis. Yang tidak kalah pentingnya, dalam indikator ini juga akan dinilai tentang program-program yang dibuat oleh pemerintah daerah agar kebersihan birokrasi segera dapat diwujudkan. Sebagai contoh, JPIP akan mengapresiasi tinggi daerah-daerah yang sudah mempunyai mekanisme fit and proper test untuk menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintah daerah. Melalui survei publik, rakyat daerah juga akan diminta pendapatnya untuk menilai bersih-tidaknya birokrasi yang ada di daerahnya.
b. Kedua, Indikator Transparansi. Dengan indikator ini akan dilihat seberapa transparan pemerintah daerah dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program-program yang menyangkut pelayanan publik. Transparansi budget akan menjadi bobot yang tertinggi. Beberapa eksekutif di daerah masih ada yang berpikir bahwa APBD adalah dokumen rahasia yang rakyat tidak boleh tahu. Namun, ada beberapa daerah yang sudah berani mempublikasikan APBD-nya, baik itu yang dipasang pada papan-papan pengumuman di balai desa maupun dalam situs resmi mereka. Daerah-daerah yang mempunyai inisiatif dan inovasi program untuk mendorong pemerintahan yang transparan akan mendapatkan apresiasi yang tinggi. Terlebih jika daerah tersebut sudah mempunyai mekanisme baku, seperti perda yang menjamin hak-hak rakyat untuk mendapatkan informasi mengenai program dan anggaran yang akan dan sedang dijkalankan.
c. Ketiga, Indikator Akuntabilitas. Indikator ini akan digunakan untuk melihat apakah sebuah daerah sudah mempunyai mekanisme pertanggungjawaban publik yang memadai ataukah belum. Dalam hal ini akan dilihat apakah pemerintah daerah telah mempunyai mekanisme yang terlembagakan yang menjamin adanya pertanggungjawaban dari setiap penggunaan anggaran publik. Transparan saja tanpa ada pertanggungjawaban memungkinkan terjadinya pemborosan. Karena itu, dalam setiap program pemerintah daerah dituntut untuk memiliki semacam indikator pencapaian yang dipublikasikan secara luas dan bisa digunakan oleh masyarakat untuk menilai berhasil tidaknya sebuah program. Dengan indikator ini pula, masyarakar daerah akan dimintai pendapatnya untuk memberikan penilaian tentang praktik-praktik akuntabilitas yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah.
d. Keempat, Indikator Partisipasi. Selama ini, partisipasi yang dilakukan oleh rakyat di daerah baru sebatas partisipasi dalam hal perencanaan. Misalnya, dalam musyawarah pembangunan desa (Musbangdes) sampai dengan rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) di tingkat Kabupaten/Kota. Namun, partisipasi dalam hal pelaksanaan program sampai dengan evaluasi program bisa dipastikan nihil partisipasi rakyat. Pada tahap ini yang banyak berperan adalah dinas-dinas teknis dan DPRD. Di sinilah korupsi banyak terjadi.
Di samping itu, masih ada indikator-indikator lain yang terangkum dalam tiga parameter utama, yaitu pengembangan ekonomi, pelayanan publik, dan pelembagaan risiko politik lokal. Kesimpulannya, rakyat hanya dijadikan legitimasi, seolah-olah rakyat yang membutuhkan program tersebut. Sebab, pada saat perencanaan partisipasi warga masih diberi ruang. Karena itu, JPIP akan memberikan apresiasi yang tinggi kepada daerah-daerah yang sudah mempunyai mekanisme partisipasi warga mulai dari perencanaan, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi program.
Berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara tentang seorang pencopet atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Karena sebagian besar dari masyarakat kita tidak menyadari dan tidak pernah dididik bahwa sebenarnya uang yang dicuri oleh para koruptor tersebut adalah miliknya juga, dan ada haknya di dalam yang hilang akibat perbuatan korupsi dari oknum tersebut. Ketika seseorang dari lingkungan kita yang mencoba untuk memberikan pengertian akan bahaya korupsi, seringkali malah ditertawakan dan dianggap aneh. Serta dianggap sok suci, sok tahu dan lebih ironis lagi dicap mau jadi pahlawan kesiangan.
Dalam kehidupan sosial sehari – hari, sebagian dari masyarakat kita bahkan merasa kagum terhadap kehidupan pencuri berbaju pelayan masyarakat tersebut, sementara kalau ada seseorang di lingkungannya yang karena sulitnya memperoleh penghasilan untuk membelikan beras sekilo untuk makan anak dan istrinya, karena khilaf, mencuri jemuran dan tertangkap, maka dapat dipastikan akan disingkirkan dalam kehidupan sosial oleh lingkungannya dan seringkali bahkan dianggap bagikan benda najis. Adalah kejadian yang menyedihkan dalam kehidupan bermasyarakat kita yang tidak menyadari, bahwa seorang maling Berbicara tentang korupsi, seringkali respon dari kebanyakan masyarakat hanya datar – datar saja, bahkan ada yang menganggap biasa, lain halnya kalau kita berbicara tentang seorang pencopet atau maling ayam yang tertangkap, maka hujatan dan sumpah serapah terhadap pencopet dan maling sial tersebut akan berhamburan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Karena sebagian besar dari masyarakat kita tidak menyadari dan tidak pernah dididik bahwa sebenarnya uang yang dicuri oleh para koruptor tersebut adalah miliknya juga, dan ada haknya di dalam yang hilang akibat perbuatan korupsi dari oknum tersebut. Ketika seseorang dari lingkungan kita yang mencoba untuk memberikan pengertian akan bahaya korupsi, seringkali malah ditertawakan dan dianggap aneh. Serta dianggap sok suci, sok tahu dan lebih ironis lagi dicap mau jadi pahlawan kesiangan.
Sudah saatnya rakyat di negeri ini diberi pendidikan dan pengetahuan tentang akibat dari perbuatan korupsi yang dilakukan oleh oknum – oknum tertentu, bahwa perbuatan tersebut dapat menyengsarakan dan merugikan banyak orang, bukan hanya sekarang, tetapi anak cucu kita juga kebagian sengsaranya.

2.3. Korupsi dari sudut pandang manajemen
.
Dari sisi manajemen ada beberapa hal yang perlu diperbaiki untuk mengikis korupsi sedikit demi sedikit, yang mudah – mudahan pada waktunya nanti, perbuatan korupsi dapat diberantas dari negara ini atau sekurang – kurangnya dapat ditekan sampai tingkat serendah mungkin, beberapa hal yang menurut pendapat kami pribadi adalah :
1. Sistem hukum yang berlaku, seharusnya dalam pelaksanaan sistem hukum negara kita jangan ada perbedaan perlakuan dalam bentuk apapun dan terhadap siapapun, kalau maling ayam ketangkap masuk tahanan, sang pejabat yang ada bukti awal korupsi juga seharusnya segera dimasukkan dalam tahanan. Pelaku kriminal lainnya hanya boleh dibesuk pada jam dan waktu yang telah ditentukan, sang koruptor harusnya juga diperkakukan sama. Seringkali pihak aparat penegak hukumnya seolah – olah kalah wibawa dengan sang koruptor, jelas ini masalah moral dan mental yang perlu segera dibenahi.
2. Seleksi penerimaan Pegawai Negeri, Cara penerimaan pegawai negeri yang sampai hari ini tidak jelas ujung pangkalnya perlu sesegera mungkin dibenahi, dan dengan prinsip dasar transparan. Sehingga jelas apa dasar dan alasan seseorang diterima menjadi pegawai negeri, juga pengangkatan pejabat yang sampai hari ini masih kacau balau,
3. Undang – undang korupsi, yang berlaku saat ini, terlampau banyak celah dan kelemahan yang dapat dimanfaatkan oleh koruptor. Berlakukan undang – undang korupsi pembuktian terbalik dengan tambahan bahwa yang dapat dijerat dengan undang – undang ini termasuk keluarga sang pejabat.
4. Saluran terbuka untuk masyarakat, seringkali masyarakat mengetahui tentang adanya perbuatan korupsi, tetapi tidak tahu harus melapor kemana dan kepada siapa, juga ketakutan akan dijadikan saksi yang bakal merepotkan dirinya, perlu dipikirkan agar adanya akses langsung dari masyarakat luas kepada pihak yang betul – betul dapat menjamin dan melindungi pelapor, juga menindak lanjuti laporan tersebut, sehingga tidak menciptakan sikap masa bodoh dari masyarakat, seperti yang terjadi saat ini.
5. Sistem pendidikan, mungkin dapat dirancang untuk dimasukkan dalam kurikulum pendidikan mulai setingkat SLTP, yang menanamkan kepada anak didik tentang hak dan kewajiban warga negara atas negaranya, juga menanamkan rasa memiliki negara ini, dengan mengajarkan apa sebenarnya yang dimaksud dengan korupsi, akibatnya dan rasa kebenciannya terhadap korupsi.



BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Korupsi telah menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, walaupun dengan tingkat intensitas kasus yang berbeda-beda. Otonomi daerah hanya memberikan kekuasaan monopoli kepada pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan Legislatif) untuk mengelola sumber daya ekonomi yang rawan dengan penyelewengan karena tiadanya intervening factor yang secara fungsional mempunyai daya kontrol terhadap kedua lembaga tersebut. Intervening factor ini adalah kekuatan-kekuatan masyarakat yang terorganisir di daerah. Justru ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif, sangat sulit bagi masyarakat untuk melakukan kontrol atas kedua lembaga tersebut oleh karena otonomi masyarakat tidak diwujudkan.
Konsepsi desentralisasi yang berhenti hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran pada akhirnya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah hanya kepada elit dan atau politisi lokal yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
Praktek korupsi paska otonomi daerah yang kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor menggambarkan ironi desentralisasi sebagaimana telah digambarkan diatas. Tiga hal yang menjadi penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah, yaitu:
1. Program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan wewenang dalam pembuatan kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Dengan kata lain, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di daerah. Karenanya, program desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang.
2. Tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan struktural secara langsung memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Kepala daerah, baik gubernur, Bupati/Walikota, tidak lagi ditentukan oleh pemerintah pusat, melainkan oleh mekanisme pemilihan secara langsung dan bertanggunjawab ke DPRD. Hubungan pemerintahan pusat dan daerah hanya fungsional, yaitu hanya kekuasaan untuk memberi policy guidance kepada pemerintah daerah.
3. Legislatif gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kontrol. Justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pemerintah daerah dan DPRD sehingga kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan derah tidak terjadi, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah. Yang perlu digaris bawahi bahwa adanya lembaga kontrol seperti DPRD yang secara konstitusi harus mengawasi kebijakan pihak eksekutif (Pemerintah Daerah) tidak berarti kemungkinan akan adanya penyelewengan dan korupsi menjadi hilang.
Dari seluruh pemaparan mengenai kasus korupsi dalam makalah ini, maka kiranya:
1. Otonomi Daerah dalam perspektif pemerintah adalah otonomi administrasi dan otonomi financial yang telah mengabaikan desentralisasi dalam kerangka politik. Oleh karenanya, dua hal penting dalam desentralisasi demokratik yakni partisipasi dan akuntabilitas tidak menjadi visi praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah.
2. Desentralisasi tanpa desentralisasi demokratik melahirkan monopoli atas sumber daya ekonomi daerah oleh elit lokal (legislative dan eksekutif) mengandung bahaya yakni penyelewengan kekuasaan dan korupsi.
3. Korupsi pada tahun 2004 di Indonesia menunjukkan penyebaran yang meliputi hampir sebagian besar wilayah Indonesia.
4. Dari sisi modus korupsi, selama kurun waktu 1999-2004 tidak ada yang mengalami perubahan, kecuali korupsi yang dilakukan oleh DPRD dengan menggunakan payung hukum. Oleh karenanya, korupsi DPRD sering disebut sebagai korupsi yang legal atau legalisasi korupsi.
5. Resistensi dari pelaku korupsi atas gerakan masyarakat yang menuntut penanganan hukum atas mereka, semakin mengkhawatirkan karena telah adnya penggunaan instrumen kekerasan dan hukum.
6. Aparat penegak hukum belum menganggapi serius penggunaan instrumen kekerasan oleh para pelaku korupsi sehingga sampai hari ini kasus-kasus kekerasan yang menimpa aktivis anti-korupsi tidak disikapi sebagaimana mestinya. Padahal jika praktek kekerasan ini dibiarkan, maka akan memicu pihak-pihak lain untuk menggunakan cara yang sama.
Strategi pembaharuan yang harus dan perlu dilakukan dalam bidang SDM yaitu:
1). Menyiapkan SDM yang mampu mengelola atau melakukan manajemen secara profesional dan komprehensif;
2). mengembangkan jabatan fungsiolal pengelola kepegawaian;
3). menyusun rencana kebutuhan SDM aparatur pemerintah untuk jangka menengah dan jangka panjang;
4). menyiapkan serangkaian kebijakan untuk melaksanakan fungsi-fungsi Manajemen.


4.1. Saran

Dalam memberantas korupsi di Indonesia, mesti memperhatikan bebrapa hal, yaitu:
1. Agar orang tidak mau korupsi dapat dilakukan dengan pendidikan agama, agama apa saja. Pendidikan agama sekarang agaknya belum akan menghasilkan orang anti-korupsi. Pendidikan agama harus diperbaiki.
2. Agar sistemnya jadi sulit ditembus, sempurnakanlah sistem itu. Korupsi di kita dapat diberantas dengan membuat sistem anti-korupsi, diikuti penegakan hukum. Hukumnya tidak usah digantung, namun langsung dihukum saja.
3. Melibatkan semua publik dapat memberikan masukan dalam pembuatan rencana penerbitan Perppu, Perda, APBD dan lain sebagainya.
4. Semua birokrat, aparat keamanan atau pejabat negara, harus menghentikan kebiasaan menyetor dan menerima setoran. Sebab, hal seperti itu merupakan salah satu sebab terjadinya korupsi yang merugikan uang negara di Indonesia ini. "Hentikan kebiasaan bawahan menyetor ke atasan, atasan hentikan kebiasaan menerima setoran dari bawahan"!!!









Rabu, 11 November 2009

Proses Penyusunan Anggaran

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak masa orde baru berkuasa proses penyusunan anggaran masih jauh dari kata aspiratif. Pada masa itu anggaran yang dibuat oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lebih banyak mencerminkan kepentingan elit politik yang berkuasa daripada dimaksudkan untuk memenuhi kehendak masyarakat. Seiring dengan pelaksanaan demokratisasi saat ini Pemerintah mengimplementasikan kebijakan otonomi dan desentralisasi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004). Berdasarkan UU tersebut berarti daerah memiliki kewenangan yang besar untuk mengurus rumah tangga mereka sendiri, termasuk didalamnya kewenangan yang lebih besar dalam hal pembuatan Anggaran.
Berlakunya kedua undang-undang tersebut telah membawa perubahan dalam berbagai aspek penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, termasuk Bidang Keuangan Daerah. Sebagaimana dikemukakan Mardiasmo (2002 : v) yang mengatakan bahwa :
Misi utama kedua undang-undang tersebut adalah desentralisasi fiskal, yang diharapkan akan menghasilkan dua manfaat nyata yaitu : pertama, mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreatifitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil-hasil pembangunan (keadilan) di seluruh daerah. Kedua, memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah.


Kehendak Pemerintah untuk memperbaiki sistem penganggaran yang demokratis, transparan dan akuntabel tercermin dari digantinya sistem penganggaran lama dengan sistem penganggaran kinerja yang kemudian dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002
Reformasi keuangan daerah secara langsung juga akan berdampak pada dilakukan reformasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), karena melalui proses penyusunan dan pelaksanaan APBD akan memberikan dampak yang sangat penting dalam pengurusan dan pengaturan rumah tangga daerah. Keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah tergantung pada kemampuan dan cara pengelolaan APBD-nya. Reformasi anggaran (budgeting reform) dilakukan melalui proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban anggaran. Dalam Pasal 1 angka (17) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dijelaskan pengertian APBD adalah “rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 194 menyatakan “Penyusunan, pelaksanaan, penatausahan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah”. Pemerintah Pusat telah mengeluarkan berbagai Peraturan Pemerintah sebagai operasionalisasi dari undang-undang Otonomi Daerah tentang Pemerintahan Daerah dan undang-undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintahan Daerah untuk mewujudkan suatu good governance. Salah satu diantaranya adalah dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.
Dalam Pasal 14 ayat (4) PP Nomor 105 Tahun 2000 dinyatakan :
Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan Daerah serta tata cara penyusunan APBD, pelaksanaan tata usaha keuangan daerah dan penyusunan perhitungan ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
Untuk menindaklanjuti PP ini Menteri Dalam Negeri melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 29 Tahun 2002 tanggal 10 Juni 2002 menetapkan Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Ditetapkan dan diberlakukannya Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 ini merupakan pengganti dari berbagai peraturan Pengelolaan Keuangan Daerah yang selama ini digunakan, seperti PP Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta PP Nomor 6 Tahun 1975 tentang Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD.
Bila dilihat lebih jauh substansi Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 tersebut, masih banyak hal yang dipertahankan dari aturan yang selama ini dilaksanakan terutama dalam proses penganggaran dan penatausahaan, antara lain dipertahankannya strategi (stelsel) segitiga pengelolaan Keuangan Daerah. Kepala Daerah sebagai pemegang kekuasaan umum pengelolaan Keuangan Daerah tetap bertindak sebagai pemegang kekuasaan (otorisator). Biro/ Bagian/ Badan Pengelola Keuangan Daerah sebagai perangkat pengelola Keuangan Daerah tetap bertindak sebagai pembawa berita (ordonator), sedangkan Pemegang Kas tetap bertindak sebagai penanggung jawab keuangan (komptabel), sehingga tetap ada kejelasan pemisahan masing-masing fungsi.
Ada beberapa perubahan dan perbedaan yang mendasar antara sistem pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah yang lama dengan yang baru sesuai dengan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 berdasarkan prinsip - prinsip anggaran kinerja antara lain ;
a. Perencanaan Penyusunan APBD pada sistem lama, dokumen perencanaan lebih didominasi oleh eksekutif berdasarkan arahan dari perintah atasan. Hal ini mengakibatkan ketidakcocokan dalam pelaksanaan APBD itu sendiri. Seringkali aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat tidak dapat diterapkan secara optimal di daerah-daerah karena kurang sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Sedangkan pada sistem baru, dokumen perencanaan sebagai kesepakatan antara pihak eksekutif dengan DPRD. Fungsi perencanaan dilakukan oleh DPRD sejak proses penjaringan aspirasi dan kebutuhan masyarakat (need assessment) hingga penetapan Arah dan Kebijakan umum APBD. Penjaringan aspirasi masyarakat dilakukan untuk memperoleh data/ informasi dari masyarakat sebagai bahan masukan dalam proses perencanaan APBD.
b. APBD yang selama ini menganut azas berimbang dan dinamis, beralih menggunakan sistem defisit atau surplus. Tujuannya adalah agar pemerintah daerah lebih rasional dan hemat dalam merencanakan anggaran. Azas berimbang dan dinamis cenderung mendorong menghabiskan dana dalam perencanaan anggaran. Sebaliknya dengan sistem yang baru lebih mendorong ke arah penghematan.
c. Pendekatan penyusunan APBD yang selama ini menggunakan Sistem Anggaran Tradisional yang lebih menekankan pada penggunaan sumber daya dan dana (input) memiliki ketidakjelasan hubungan dengan hasil yang akan dicapai. Hal ini menyulitkan kita untuk memperoleh informasi secara transparan tentang tujuan dan sasaran yang akan dicapai dari setiap dana yang akan dianggarkan. Berbeda dengan pendekatan penyusunan APBD pola baru yang harus disusun dengan pendekatan anggaran kinerja (performance budgeting system) yaitu suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
d. Susunan (struktur) APBD yang digunakan selama ini terdiri atas pendapatan dan belanja, dimana komponen belanja dipisahkan menjadi dua bagian yaitu belanja rutin dan belanja pembangunan. Struktur APBD semacam ini banyak mengandung kelemahan, antara lain sering menimbulkan duplikasi pengeluaran sehingga mengurangi efisiensi dan efektivitas anggaran daerah, selain itu struktur tersebut juga kurang memberikan gambaran mengenai kinerja keuangan daerah yang menunjukkan kemampuan daerah untuk menghasilkan pendapatan dan belanja yang dikeluarkan.
e. Selain itu dalam struktur APBD di masa lalu, sisa lebih Perhitungan Anggaran dan Pinjaman Daerah diakui sebagai pendapatan. Pinjaman daerah tidak dapat diakui sebagai pendapatan karena wajib dikembalikan kepada yang meminjamkan, oleh karena itu harus diakui sebagai pembiayaan.
Untuk pemahaman terhadap pengertian dan pengelompokan antara pendapatan dan pembiayaan maka dalam APBD berbasis kinerja strukturnya terbagi atas Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan. Perubahan lainnya yang sangat mendasar dalam struktur APBD yaitu pada sisi Anggaran Belanja Daerah. Anggaran Belanja dikelompokkan menjadi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung. Belanja Langsung adalah belanja yang dipengaruhi langsung oleh adanya program atau kegiatan yang direncanakan. Jenis Belanja Langsung dapat berupa Belanja Barang/Jasa, Belanja Pemeliharaan dan Belanja Perjalanan Dinas. Belanja Tidak Langsung adalah belanja yang tidak dipengaruhi secara langsung oleh adanya program atau kegiatan.
Dalam era otonomi daerah saat ini, aparat pemerintah daerah diharapkan menerapkan sistem anggaran kinerja karena apabila dilaksanakan secara baik dan benar sistem anggaran kinerja ini akan memungkinkan pendelegasian wewenang dan pengambilan keputusan. Sistem ini juga akan merangsang partisipasi dan memotivasi unit kerja melalui proses pengusulan dan penilaian anggaran yang bersifat faktual. Dalam hal alokasi dana, anggaran berbasis kinerja akan lebih mengefisienkan dan mengoptimalkan fungsi satuan kerja sehingga pemborosan akan dapat dihindari.
Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Kepulauan Mentawai khususnya Dinas Kesehatan Mentawai telah menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja yang berpedoman pada Kepmendagri Nomor 29 tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sejak tahun 2003. Dimana dalam proses penyusunan APBD sesuai Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dimulai dari penyusunan Arah dan Kebijakan Umum APBD, Penyusunan Strategi dan Prioritas APBD serta Usulan Program, Kegiatan dan Anggaran berdasarkan prinsip-prinsip Anggaran Kinerja.
Dalam penerapan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai masih adanya indikasi belum berjalannya proses penyusunan APBD dengan baik dimana ditemukan permasalahan-permasalahan antara lain :
Pertama, penyampaian usulan dari unit-unit kerja yang tidak tepat waktu sehingga memperlambat proses penyusunan RAPBD.
Kedua, penjaringan aspirasi masyarakat yang belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. contohnya : sebagian masyarakat hanya menjadi objek dalam kegiatan ekonomi atau kurangnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi daerah.
Ketiga, kurangnya sumber daya manusia yang memadai dari pegawai masing - masing unit pada Kabupaten Kepulauan Mentawai Propinsi Sumatera Barat .

B. FOKUS PERMASALAHAN
Dari latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, maka yang menjadi fokus permasalahan pada penulisan ini adalah “Bagaimanakah Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berbasis Kinerja pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai…”?

BAB II
KERANGKA TEORI

A. Tinjauan Teori dan Konsep Kunci
1. Pengertian Proses
Proses adalah merupakan rangkaian pengolahan data sampai siap menjadi informasi yang dapat disajikan dan digunakan selanjutnya. Dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 mengenai Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) dijelaskan pengertian proses sebagai berikut :
Proses adalah kegiatan untuk mengubah masukan (input) menjadi keluaran (output). Menggambarkan perkembangan atau aktifitas yang terjadi dan dilakukan selama pelaksanaan kegiatan berlangsung, khususnya dalam proses mengolah masukan menjadi keluaran.

Sedangkan Lembaga Administrasi Negara (1989 : 115) memberikan pengertian proses sebagai berikut :
Proses adalah rangkaian perbuatan manusia yang mengandung suatu maksud tertentu yang memang diketahui oleh orang yang melakukan perbuatan itu. Dalam pengertian proses itu termasuk pula segenap kejadian yang terjadi sebagai akibat dari perbuatan itu. Apabila rangkaian itu dilakukan oleh lebih dari satu orang secara kerja sama untuk menyelenggarakan tercapainya tujuan, maka proses itu dinamakan proses penyelenggaraan.

Berdasarkan pendapat yang dikemukakan diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa proses adalah proses penyusunan APBD yang merupakan rangkaian langkah atau perbuatan manusia dalam melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan APBD secara sistematis yang dimulai dari pengumpulan data, penyusunan rancangan, penetapan peraturan daerah dan pelaksanaan APBD itu sendiri.

2. Anggaran Berbasis Kinerja
a. Konsep Anggaran
Istilah anggaran atau budget telah lama dikenal di lingkungan pemerintahan. Perencanaan dalam menyiapkan anggaran sangatlah penting. Anggaran bagaimanapun juga jelas mengungkapkan apa yang akan dilakukan di masa mendatang. Anggaran dapat diinterpretasikan sebagai paket pernyataan perkiraan penerimaan dan pengeluaran yang diharapkan akan terjadi dalam masa satu atau beberapa periode mendatang.
Menurut Harold Kootnz dan Cyrill O’ Donnell (1995 : 134) menyatakan bahwa “anggaran adalah suatu rencana atau laporan mengenai hasil-hasil yang diharapkan yang dinyatakan dengan angka-angka” sedangkan menurut The National Committee on Govenrmental Accounting (NCGA), saat ini Govenrmental Accounting Standards Board (GASB) definisi anggaran (budget) adalah sebagai berikut :
.….rencana operasi keuangan, yang mencakup estimasi pengeluaran yang diusulkan dan sumber pendapatan yang diharapkan untuk membiayainya dalam periode waktu tertentu. (Indra Bastian, 2001:79).

Fungsi anggaran dalam hal ini APBD khususnya juga dijelaskan oleh Abdul Halim (2002 : 13) bahwa Anggaran Daerah berfungsi :
a. sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola daerah untuk suatu periode dimasa mendatang.
b. Sebagai alat pegawas bagi mayarakat terhadap kebijakan yang telah dipilih pemerintah karena sebelum anggran dijalankan harus mendapat persetujuan DPRD terlebih dahulu.
c. Sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam melaksanakan kebijakan yang telah dipilihnya karena pada akhirnya anggaran harus dipertanggungjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah kepada DPRD.
Berdasarkan pendapat diatas, dapat penulis simpulkan bahwa dalam penulisan ini APBD adalah suatu jenis rencana kegiatan dalam bentuk angka-angka (financial) sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola keuangan daerahnya, untuk mengarahkan pembangunan sosial ekonomi, menjamin kesinambungan dan meningkatkan kualitas masyarkat. APBD juga merupakan alat pengawas masyarakat terhadap kebijakan pemerintah daerah dan juga merupakan salag satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada rakyatnya melalui DPRD.
b. Konsep Kinerja
Perkataan “kinerja” dalam pemerintahan telah berkembang sejak tahun 1996 dengan terbitnya Keputusan Meneg PPN/ Ketua Bappenas Nomor 195/KET/12/1996 tertanggal 2 Desember 1996. Keputusan ini bertujuan untuk “evaluasi proyek pembangunan”.
Sedangkan Lembaga administrasi Negara (2004:2) dalam modul LAKIP mengemukakan :
“Kinerja instansi pemerintah adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian, sasaran ataupun tujuan instansi pemerintah sebagai penjabaran dari visi, misi dan strateji instansi pemerintah yang mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan-kegiatan susuai dengan program dan kebijakan yang ditetapkan”.

Dari pengertian-pengertian yang dihimpun, dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan hasil kerja yang dicapai oleh seseorang atau organisasi dalam lingkup pekerjaan tertentu sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan selama periode tertentu.
Sedangkan istilah Anggaran Kinerja (Performanced Budgeting) muncul pertama kalinya dan diatur dalam PP 105/2000. Pasal 8 Peraturan Pemerintah tersebut berbunyi “ APBD disusun dengan pendekatan kinerja”. Lebih Lanjut dalam penjelasan pasal 8 tersebut didefinisikan bahwa :
“suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan atau input yang akan digunakan”, anggaran kinerja berupa:
a. sasaran yang diharapkan,
b. standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan,
c. adanya alokasi yang proposional untuk (1) belanja administrasi umum, (2) belanja operasi dan pemeliharaan, (3) belanja pembangunan.
Untuk mengetahui keberhasilan kinerja suatu organisasi, seluruh aktifitas organisasi tersebut harus dapat diukur. Pengukuran tersebut tidak semata-mata kepada masukan, tetapi juga ditekankan kepada keluaran atau manfaat program tersebut.

BAB III
P E M B A H A S A N
Berdasarkan Rencana Strategis Departemen Kesehatan, Visi Departemen Kesehatan adalah Mencapai Indonesia Sehat 2010 maka dalam rangka menunjang pencapaian visi tersebut Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai berusaha untuk menjalankan fungsinya sebagai sarana peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, akan tetapi dalam pencapaian visi tersebut masih banyak kendala yang dihadapi para pelaksana visi dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Sebagaimana tujuan pembangunan kesehatan mengarah kepada peningkatan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan, dan rehabilitasi. Di bidang sumber daya kesehatan; tujuannya meningkatkan jumlah, efektivitas, dan efisiensi penggunaan biaya kesehatan sehingga dalam rangka pelaksanaan anggaran berbasis kinerja maka bukan hanya sebatas output namun pelaksanaan dapat mencapai impact yang dihasilkan baik pengadaan sarana maupun pelaksanaan program terhadap peningkatan pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan terhadap pengelolaan anggaran merupakan salah satu masalah yang dihadapi saat ini, Diharapkan pengelolaan anggaran berbasis kinerja dengan fungsinya dapat membantu dalam hal mengatasi penyimpangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi, dan juga dapat mengarahkan fungsi antara unit-unit/sub dinas pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai untuk dapat menjalankan fungsinya, di mana masih ada fungsi-fungsi yang tidak dijalankan semestinya dan overlaping, seperti dalam sub dinas bagian pelayanan kesehatan masih overlaping dengan sub dinas bagian pemberantasan penyakit menular dalam memberikan pelayanan terhadap kesehatan haji. Contoh lain yang menjadi masalah adalah sebelumnya pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana kesehatan hanya menghasilkan output saja tetapi dengan adanya pengelolaan anggaran berbasis kinerja akan mampu dilakukan pemanfaatan sarana kesehatan tersebut secara nyata oleh pengguna pelayanan kesehatan yaitu masyarakat sehingga berdampak dalam peningkatan kesehatan masyarakat sendiri.
Dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja yang ada di Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah diawali dengan membuat usulan rencana pelaksanaan program dari tiap-tiap sub dinas, selanjutnya semua kebutuhan dialokasikan dan disaring oleh satu sub dinas perencanaan dalam bentuk RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) yang kemudian apabila disetujui oleh BAPPEDA, biro pembangunan dan Biro Keuangan akan berubah menjadi DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja). Dengan adanya DASK dapat dilakukan evaluasi dengan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan. Evaluasi ini berdasarkan indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact).

BAB IV
K E S I M P U L A N

Pelaksanaan otonomi daerah yang sedang bergulir saat ini merupakan bagian dari reformasi atas kehidupan bangsa yang oleh pemerintah telah dituangkan dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang poko-pokok pemerintah daerah yang kemudian di lakukan penyempurnaan menjadi UU. 32 tahun 2004. Otonomi secara umum diartikan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada Daerah.
Dengan pelaksanaan pengelolaan anggaran keuangan daerah berbasis kinerja di mana laporan keuangan daerah berorientasi pada kepentingan masyarakat yang menuntut transparansi informasi anggaran kepada publik maka pada Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai diharapkan dapat mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan anggaran yang selama ini terjadi dalam rangka peningkatan Pelayanan Kesehatan kepada masyarakat guna mencapai visi dari Departemen Kesehatan sendiri yaitu INDONESIA SEHAT 2010

SARAN

Bagian akhir pembahasan makalah, kami mencoba memberikan beberapa saran, seperti:
• Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Mentawai harus melakukan pembenahan terhadap struktur pemerintahan di segala bidang.
• Melihat betapa pentingnya pengembangan Sumber Daya Manusia , maka kepada Pimpinan/Kepala Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai, disarankan untuk berangsur-angsur memikirkan pengembangan pegawainya . Gunanya agar dapat diperoleh pegawai yang berkualitas yang mampu melakukan tugas serta dapat bekerja secara produktif dan bertanggung jawab


DAFTAR PUSTAKA

Bastian Indra, Ph.D., M.B.A.,Akt, Sistem Perencanaan dan Penganggaran Pemerintah Daerah, Salemba Empat, 2006
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004).

Makalah Administrasi Keuangan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kabupaten Kepulauan Mentawai yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman adalah kabupaten yang masih relatif muda di Propinsi Sumatera Barat. Sehingga dalam pelaksanaan pengelolaan barang-barang atau asset daerah masih terdapat kelemahan-kelemahan. Padahal aset daerah merupakan salah satu faktor determinan dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang perlu dikelola dan dikendalikan secara efektif, ekonomis,efisien, transparan dan akuntabel.
Manusia merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pengelolaan barang daerah, karena itu pemahaman pegawai terhadap aturan pengelolaan barang daerah sangat dibutuhkan. Namun yang terjadi di Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah sebaliknya yaitu sumber daya manusia yang terbatas dalam pengelolaan aset daerah. Keterbatasan sumber daya manusia inilah yang merupakan salah satu hal yang menjadi kendala dalam pengelolaan barang daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai, karena masih belum banyak pegawai pengelola barang yang memahami peraturan-peraturan tentang pengelolaan barang atau aset daerah tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latarbelakang diatas, maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yaitu “Sejauhmana Pengelolaan Barang Daerah yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sesuai dengan peraturan yang berlaku?



BAB II
KEBIJAKAN UMUM TENTANG PENGELOLAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

Adapun kebijakan Umum yang mengatur Pengelolaan dan Pengendalian Barang Pemerintah yaitu :
1. Keppres No 17 tahun 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN
2. Keppres No 18 tahun 2000 yang telah disempurnakan dengan Keppres No 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
3. Peraturan-peraturan lainnya

Disamping itu juga ada beberapa ketentuan umum Pengelolaan Barang Daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai yang diatur melalui :
• Perda Kabupaten Kepulauan Mentawai Tentang APBD
• Peraturahn Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai tentang Penjabaran
• Perda Kabupaten Kepulauan Mentawai Nomor 9 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Barang Daerah
• Keputusan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 19 Tahun 2002 yang isinya berkisar pada : Perencanaan Kebutuhan barang, Pengadaan barang, Penyimpanan barang, Penyaluran atau pendistribusian barang.
Pengelolaan barang atau aset daerah tersebut, secara umum dapat dibagi kedalam beberapa kegiatan seperti berukut ini :
• Pengadaan barang.
• Pergudangan.
• Pendistribusian.
• Pemeliharaan.
• Penataan Administrasi barang




BAB III
ANALISA

Dalam prakteknya, pengelolaan barang yang meliputi pengadaan, pergudangan, pendistribusian, pemeliharaan dan penataan administrasi barang sudah dilaksanakan di lingkungan Pemerintah kabupaten kepulauan Mentawai. Kegiatan tersebut sudah diimplementasikan seperti dalam uraian berikut ini :
 Pengadaan Aset Daerah khususnya tanah, bangunan, alat berat dan kendaraan dilakukan oleh Bagian Umum Sekretariat Daerah kab.Kep.Mentawai. sedangkan jalan, jembatan, bangunan pengairan dan ATK dilakukan oleh masing-masing unit kerja.
 Administrasi Bendaharawan barang di Bagian Umum meliputi penerimaan, pengeluaran, pencatatan dan pelaporan (laporan triwulan dan BAP atasan langsung bendaharawan)
 Pengelolaan barang ditingkat unit kerja (Badan & Dinas)
• Pengadaan Barang
- Di bawah Rp. 50.000.000 oleh Pimpinan Pelaksana Kegiatan
- Di atas Rp. 50.000.000 oleh Panitia yang dibentuk oleh Pimpinan Pelaksana Kegiatan
- Pengadaan dilakukan melalui tender sampai dengan penentuan perusahaan pengadaan barang
• Kegiatan Bendaharawan Barang
- Menerima setelah diperiksa oleh PIMLAKTAN
- Penyimpanan di Gudang
- Pengeluaran barang dengan mekanisme,
* Sub din Program mengajukan permohonan barang kepada ka Unit
* Ka Unit memerintahkan Bendaharawan mengeluarkan barang.
• Pemeriksaan barang di gudang
Stock of name dilakukan setiap triwulan oleh ka unit dengan beberapa orang saksi.
• Pelaporan
Secara rutin semua kegiatan dilaporkan kepada Bupati melalui Bagian Umum (Tri Wulan)
Dan secara umum pengelolaan / pengendalian barang daerah di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai sudah mulai dilakukan melalui mekanisme yang benar (normatif) dan secara teoritis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Namun dalam berbagai hal masih terdapat beberapa kekurangan dalam implementasinya di lapangan, karena belum semua aparat unit mengetahui dan memahami peraturan-peraturan tentang pengelolaan barang. Akibatnya secara administratif pengelolaannya masih belum tertib. Misalnya dalam hal penataan administrasi barang yang salah satunya adalah pengkodean dan registrasi barang. Pengkodean dan registrasi barang belum sesuai dengan Kepmenkeu Nomor 18/KMK.18/1999 tentang Penetapan kodefikasi barang inventaris. Akibatnya lokasi barang tidak diketahui dengan jelas. Pengurus barang tidak jelas dan jika barang berpindah-pindah sulit dikontrol.

Disamping itu ketidaktertiban pengelolaan barang daerah di lingkungan Pemerintah kabupaten kepulauan Mentawai terlihat dari berbagai hal sebagaimana diuraikan berikut ini :
1. Belum semua unit organisasi melaporkan mutasi barang daerah sehingga tidak diketahui asal usul barang tersebut.
2. Belum semua melaporkan kondisi barang, sehingga tidak diketahui berapa jenis dan jumlah barang yang masih baik, rusak dan perlu dihapus. Data kondisi barang sangat diperlukan untuk penyusunan anggaran pemeliharaan.
3. Nilai barang baik secara ekonomis, maupun teknis belum dilaporkan secara rinci, hal ini terkait dengan biaya operasional pemeliharaan barang
4. Masih ada unit kerja yang kurang memperhatikan kewajibannya untuk melaporkan secara berkala terhadap hasil pengelolaan barang unit.
5. Bagian Umum hanya mengetahui barang yang dikelola oleh unit kerja dari aspek administrasi saja, sedangkan secara fisik tidak. Hal ini terkait dengan belum difungsikannya gudang induk sebagai pos pemeriksaan barang.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

• Pengelolaan Barang Daerah Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai secara normatif sudah ada dan diatur oleh berbagai Peraturan (Keppres, Kepmen, Perda, Keputusan Bupati);
• Pengelolaan Barang Daerah secara tertulis dapat dipertanggungjawabkan karena siklus telah sesuai dengan teori pada umumnya;
• Pengelola Barang Daerah secara empirik administratif masih belum tertib, sehingga mekanisme pengendalian barang daerah kurang berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini berimplikasi pada kurang efektifnya pendayagunaan fungsi bendaharawan dan gudang.

B. SARAN

• Perlu sosialisasi berbagai peraturan yang menyangkut pengelolaan barang daerah pada aparat yang terkait dengan tugas tersebut agar terjadi pola pikir dan pola tindak.
• Perlu tertib administrasi antara lain:
– Pengkodean dan registrasi yang sesuai dengan Kepmenkeu No.18/KMK.018/1999.
– Laporan yang lengkap menyangkut asal-usul barang, kondisi barang, dan nilai barang.
– Disiplin laporan.
• Perlu sistem informasi perlengkapan yang secara efektif dapat mengendalikan atau memonitor lalu lintas barang daerah di berbagai unit.
Peran Lembaga Birokrasi Desa Dalam Sosialisasi Politik

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Kelahiran Orde Baru telah membawa perubahan yang besar di semua bidang kehidupan bangsa kita. Di samping pernyataannya untuk memegang teguh UUD 1945 dan Pancasila, Orde Baru telah pula bertekad untuk melaksanakan pemerintahan dengan memacu pembangunan yang sebelumnya terabaikan. Keberhasilan pembangunan akan meningkatkan taraf hidup dan akan membawa rakyat kepada tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Mengingat bahwa 80% rakyat Indonesia berdiam di daerah pedesaan, wajar bila salah satu sasaran utama pembangunan adalah pembangunan daerah pedesaan.
Dalam hal ini desa sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 sebagai suatu organisasi institusi politik yang tertinggi. Semua pembangunan diserahkan pada pemerintah lokal untuk maju dan berkembangnya, pemerintah pusat hanya memfasilitasi saja. Namun negara masih memegang institusi yang tertinggi dalam beberapa hal. Beranjak dari pemikiran ini kita akan dapat mengerti bahwa negara mempunyai intensitas yang lebih tinggi untuk melakukan intervensi dan masuk ke dalam desa daripada sebaliknya. Bila kita melihat bahwa negara dan desa merupakan dua organisasi yang saling mengait dan tak dapat dipisahkan, serta saling membutuhkan, maka semestinya hubungan kedua organisasi tersebut didasari oleh hubungan yang harmonis.
Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa desa sangat bergantung pada negara (walaupun otonomi daerah sudah ditetapkan) meskipun tidaklah pula dapat dikatakan bahwa negara tidak bergantung pada desa. Sering, bahkan hampir selalu dapat dikatakan bahwa hubungan yang harmonis antara negara dan desa sukar diciptakan. Mengapa? Salah satu sebab utamanya, bersumber pada kelangkaan komunikasi politik yang baik. Negara, dalam mencapai program utamanya, sering hanya melihat dari sisi kepentingannya sendiri saja. Negara cenderung mengabaikan desa untuk melakukan suatu jalinan kerja yang harmonis dengan memberi perhatian pada aspirasi desa yang sebesar-besamya. Menghadapi ha! ini, desa sering tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh negara, karena kebijakan-kebijakannya cenderung mengabaikan sendi atau nilai-nilai yang berakar pada suatu desa. Keserasian ataupun keharmonisan hubungan yang akan dapat mendorong terciptanya pembangunan yang berhasil, saya kira terletak pada berhasil atau tidaknya pemerintah melakukan komunikasi politik baik secara vertikal maupun horisontal.

B. Permasalahan

Makalah yang singkat ini akan mencoba melihat peranan birokrasi desa dalam guna mendukung pembangunan. Birokratisasi yang memang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat modem, nampaknya memang dapat membantu pemerintah dalam mewujudkan dan memperlancar program-programnya kalau saja birokrasi tersebut dapat berperan dengan baik dalam arti dapat mempertemukan kepentingan "atas" dan kepentingan “bawah”.








BAB II
PEMBAHASAN

Bila kita melihat hubungan negara dan desa secara histori, politis, kita akan melihat bahwa desa hanya menjadi obyek negara saja. Desa, hampir selalu menerima beban, tugas dan kewajiban dari negara. Sejak masa feodal tradisional di zaman raja-raja, desa merupakan tempat untuk menyediakan makanan bagi kerajaan di samping ia pun menjadi sumber tenaga manusia. Jadi pada masa itu desa telah merupakan basis yang penting bagi kerajaan. Meskipun demikian, ia sama sekali tak mempunyai kekuatan dalam menghadapi tekanan dari atas. Komunikasi yang tcrjadi hanyalah komunikasi yang searah saja yaitu komunikasi dari atas yang diterima rakyat dcngan re1a karena perintah raja identik dengan kehendak. Di samping itu rakyat juga menganggap bahwa hanya rajalah yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi seluruh kerajaan.
Masuk ke zaman kolonial, desa-desa lebih menderita, karena penguasa kolonial menyerap segala kekayaan dan merusak tatanan desa-desa kita dengan mengambil tanah-tanah adat dan hak rakyat desa. Pada masa itu sama sekali tidak terdapat komunikasi antara pemerintahan kolonial dan masyarakat pribumi. Belanda hanya melakukan penekanan-penekanan terhadap organisasi bawahannya demi kepentingan dan keuntungan ekonomi dan politik kolonial. Bila kita bandingkan dengan masa feodalisme, kekuasaan kerajaan relatif masih memberikan perhatian yang besar terhadap desa, karena ia merupakan sumber kekuatan kerajaan.
Memasuki zaman kemerdekaan, desa, meskipun berdasarkan berbagai peraturan mempunyai otonomi yang penuh, tetap saja menjadi obyek negara. Sejak masa demokrasi Parlementer sampai pada masa Demokrasi Terpimpin, tidak terdapat komunikasi politik yang berhasil antara pemerintah/negara sebagai struktur yang teratas dengan struktur organisasinya yang terendah, yaitu desa. Akibatnya, desa-desa dapat dengan mudah terseret dan terlibat dalam pergulatan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik. Kita masih ingat bagaimana tingginya kemelut politik yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer dengan sering jatuh bangunnya kabinet yang pada gilirannya menimbulkan berbagai goncangan politik. Ditambah lagi adanya serangkaian pemberontakan daerah yang terjadi hampir di seluruh tanah air.
Lahimya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang bertujuan menciptakan kestabilan politik telah gagal. Desa sangat menderita karena ia merupakan sasaran "empuk" untuk dipergunakan oleh partai-partai politik sebagai tempat menghimpun kekuatan. Banyak yang kemudian menjadikan daerah-derah pedesaan sebagai basis kekuatan politik terutama PKI. Kekuatannya pada waktu itu diperkirakan mencapai 6 juta orang, belum lagi para simpatisannya yang menyebar di berbagai organisasi kemasyarakatan.

Banyaknya kejadian tersebut menunjukkan bahwa selain masih rendahnya tingkat konsensus nasional, juga gagalnya pemerintah menjalankan komunikasi politik. Almond menggambarkan bahwa salah satu fungsi yang penting dari tujuh fungsi suatu sistem politik adalah komunikasi politik. Bila komunikasi politik berhasil maka sistem tersebut akan stabil. Bila kita beranjak dari pendapat Almond tersebut maka kita dapat mengatakan bahwa kedua sistem politik tersebut gagal dalam menjalankan fungsi komunikasi politiknya. Arus informasi politik yang disalurkan melalui komunikasi yang baik atau berhasil juga bisa menciptakan suatu kesatuan pendapat atau konsensus nasional yang pada perkembangannya akan menumbuhkan stabilitas politik yang mantap guna mendukung pembangunan. Seperti pada umumnya negara-negara berkembang, mereka, cepat atau lambat tentu akan masuk ke era modemisasi di mana pembangunan menempati titik perhatian yang sentral. Pembangunan yang pada umumnya diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi, memerlukan suatu kondisi politik yang "favourable" yaitu kestabilan politik. Menciptakan kondisi ini tidaklah mudah karena masa transisi dari masyarakat feodal agraris ke masyarakat modem industrial akan diwamai oleh perbenturan nilai-nilai lama dan baru. Hal ini hampir selalu diikuti dengan goncangan-goncangan politik yang tinggi.
Dalam hal ini pemerintah harus mengalirkan arus informasinya mengenai berbagai pembaharuan politiknya. Huntington menyebut hal ini sebagai modemisasi politik dan pembangunan politik yang pada dasamya mencakup peningkatan kemampuan lembaga politik dan lembaga lainnya untuk mampu memecahkan berbagai masalah serta menampung berbagai tuntutan dan aspirasi masyarakat yang selalu berubah dengan cepat. Di samping itu informasi pun perlu dialirkan kepada masyarakat melalui lembaga kemasyarakatan atau lembaga adat yang masih besar pengaruhnya. Lemer mengatakan bahwa komunikasi merupakan alat yang penting dalam mempercepat proses modemisasi masyarakat yang sedang mengalami transisi, seperti masyarakat kita ini. Bila pemerintah berhasil melaksanakan komunikasi politiknya, maka kesatuan dan integrasi nasional pun akan berhasil pula.
Masyarakat Indonesia yang multi etnis, dengan beragam budaya, adat istiadat ataupun kebiasaan, juga memiliki beragam orientasi keetnisan. Menghadapi masalah ini pemerintah berkewajiban untuk menciptakan kesatuan dan rasa kebersamaan yang merupakan dasar pokok bagi terwujudnya suatu nation and state huilding yang kokoh. Jelas bahwa masyarakat yang demikian tak akan begitu saja menerima arus modemisasi yang hampir selalu diterjemahkan sebagai pembangunan. Untuk memecahkan masalah ini pemerintah dengan komunikasi politiknya perlu melakukan penetrasi ke pedesaan untuk memperkenalkan nilai-nilai baru yang cepat atau lambat akan melanda mereka. Keberhasilan atau kegagalan pemerintah dalam melakukan penetrasi ini akan menentukan koberhasilan atau kegagalan suatu program pembangunan. Disisi lain kebijakan pembangunan diharapkan mampu menyentuh daerah-daerah pedesaan di mana sebagian besar penduduk berdiam. Jadi cepat atau lambat desa akan mendapatkan sentuhan-sentuhan baru, yang sebelumnya tak mereka kenal.
Masyarakat pedesaan akan dilibatkan dan melibatkan diri pada derap pembangunan. Dan pemerintah pun telah mencanangkan bahwa untuk menopang kehidupan negara, semua desa akan dibangun dan ditingkatkan menjadi desa-desa swasembada. Dalam hal ini timbul masalah yang rumit, karena seperti hampir semua negara berkembang, mereka tidak mempunyai dana yang cukup untuk membiayai pembangunannya. Indonesia pun demikian pula.
Di satu segi pemerintah ingin membangun desa dan masyarakatnya menjadi desa swasembada tetapi biaya sangat terbatas, sedang di sisi lain desa tidak dapat berdiri sendiri untuk membangun dirinya. Menghadapi masalah ini, pemerintah dengan biaya yang terbatas hendaknya mampu memberikan motivasi pada desa agar mengerti dan yakin bahwa pembangunan itu adalah untuk kepentingan mereka. Ini berarti bahwa desa dan masyarakatnya harus bergerak untuk memperbaiki nasibnya sendiri dan mereka tahu bahwa yang mereka lakukan adalah untuk kepentingan mereka sendiri, bukan untuk kepentingan segelintir elit saja. Di sinilah peran komunikasi politik yang dijalankan oleh pemerintah harus mempertemukan program-program pembangunannya dengan keinginan dan aspirasi masyarakat desa.
Salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk melancarkan laju pembangunannya adalah melakukan birokratisasi desa. Dengan begitu pemerintah mempunyai saluran struktural fungsional ke desa melalui kepala desa atau lurah dan BPD (Badan Perwakilan Desa). Melalui aparat-aparat ini, pemerintah dapat mengintervensi desa untuk memasukkan semua nilai-nilai politik dan nilai-nilai pembangunan. Di samping itu desa pun mempunyai saluran untuk mengemukakan aspirasinya melalui lembaga-lembaga birokrasi ini. Dengan adanya birokratisasi desa ini komunikasi politik akan lebih mudah dilakukan dan ini diharapkan bisa mendukung usaha-usaha pemerintah.
Masalahnya sekarang apakah lembaga birokrasi desa ini dapat berperan dengan baik sebagai wadah dan saluran komunikasi politik yang menghuburgkan kepentingan "atas" dan kepentingan "bawah"? Untuk menjawab masalah ini sebaiknya kita melihat dahulu apa yang dimaksud dengan birokrasi . Bila kjta mengartikan birokrasi adalah birokrasi Barat, seperti digambarkan oleh Weber, maka tentunya birokrasi desa adalah birokrasi yang rasional, impersonal dan sifatnya netral, tidak memihak. Tetapi birokrasi seperti yang dimaksud tersebut bukanlah suatu birokrasi seperti gambaran Weber, karena ia tidak lain hanya perpanjangan tangan dari pemerintah.
Pemerintah menggunakan lembaga Kepala Desa, dan BPD sebagai sarana untuk menyalurkan kebijaksanaannya. Lembaga-lembaga itu yang akan menampung aspirasi mas/arakat desa untuk kemudian dikomunikasikan ke "atas". Birokratisasi desa nampaknya memang diperlukan, karena dapat memperlancar pembangunan. Melalui birokrasi inilah berbagai perubahan yang berkaitan dengan modemisasi akan lebih mudah dikomunikasikan ke desa secara efektif. Jadi, birokrasi desa tersebut merupakan alat komunikasi politik baik dari "atas" ke "bawah" ataupun sebaliknya dan ia juga diharapkan dapat menghubungkan komunikasi politik antar kelompok masyarakat desa.

Berdasarkan beberapa pengamatan dan penelitian tentang Birokratisasi Desa dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan di Probolinggo, peranan birokrasi desa sebagai komunikator politik belum dapat dikatakan memuaskan. Mengapa? Karena flow of information yang datang ke desa selalu lebih besar daripada yang dari desa ke "atas". Padahal maksudnya, birokratisasi desa dilakukan terutama untuk melakukan komunikasi politik timbal-balik secara vertikal maupun horisontal.


Bila kita memahami struktur birokrasi desa, kita akan mengerti mengapa? ia lebih terbebani untuk menyalurkan komunikasi politik dari pemerintah dari pada sebaliknya. Kepala desa atau lurah bagi daerah perkotaan, sekarang ini lebih merupakan personifikasi dari pemerintah, karena diangkat oleh pemerintah dan menjadi pegawai negeri. Dahulu, kepala desa adalah tokoh yang sudah dikenal masyarakat dan mempunyai wibawa yang tumbuh senapas dengan kehidupan desanya. Rakyat memilihnya karena ia dianggap sebagai panutan. Berbeda dengan sekarang, mereka merasa asing terhadap kepala desa mereka karena cara pemilihan tidak sesuai.
Sesuai dengan UU No. 22 tahun 1999 kepala desa bersama dengan BPD bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan rumah tangganya sendiri. Kepala desa merupakan penanggung jawab utama di bidang pemerintahan dan pembangunan dengan segala aspeknya. Melihat tanggung jawab yang dibebankan baginya, ia takkan dapat melepaskan diri dari keterikatannya pada pemerintah. Dalam menjalankan tugasnya, kepala desa dibantu oleh BPD yaitu Badan Perwakilan Desa. Sesuai dengan undang-undang tersebut, BPD merupakan merupakan wadah serta penyalur aspirasi masyarakat desa. Lembaga ini melakukan berbagai hal dan hasil rapat yang dicapainya dianggap sah setelah mendapatkan persetujuan dari bupati/walikotamadya yang bersangkutan.

Setiap keputusan oleh kepala desa yang bersifat mengatur dan mempunyai akibat pcmbebanan terhadap masyarakat, harus dimusyawarahkan dengan BPD. BPD bukan unsur pelaksana, ia hanya memberi saran kepada kepala desa. Melihat kedudukan BPD, sesungguhnya BPD dapat berperan sebagai badan legislatif, karena ia merupakan badan yang mewakili dan mewadahi aspirasi masyarakat desa. la sesungguhnya dapat mengkomunikasikan politik pemerintah melalui musyawarah untuk mempertemukan kebijakan pemerintah dengan kepentingan masyarakat desa.
Dalam rangka pembangunan nasional di mana semua desa akan ditingkatkan menjadi desa-desa swasembada, desa seakan dijejali oleh segala macam kegiatan yang sebelumnya belum mereka kenal. Kita dapat membayangkan betapa besamya beban yang harus dipikul oleh kepala desa dalam melaksanakan pesan-pesan dari "atas" itu. Meskipun program-program tersebut memang baik dan sangat bermanfaat, tetapi masyarakat desa belum tentu mau menerima program-program tersebut. Bagi desa-desa yang terpencil jauh dari sentuhan kota hal yang seperti itu masih sangat sukar diterima. Di atas telah disinggung bahwa pemerintah mempunyai keterbatasan budget. Satu-satunya jalan bagi kepala desa adalah menggugah masyarakat untulk ikut berpartisipasi sepenuhnya. Adanya anggapan bahwa program pemerintah hanya merupakan beban, karena mereka merasa program-program itu tidak untuk kepentingan mereka merupakan salah satu kendala bagi pembangunan pedesaan.




BAB III
KESIMPULAN

Pengembangan komunikasi politik yang bersifat persuasif akan mampu menciptakan integrasi vertikal dan horisontal. Kedua komunikasi politik ini bertujuan membuka horizon semua lembaga yang terdapat di desa baik lembaga pemerintahan ataupun lembaga-lembaga masyarakat lainnya. Jadi komunikasi politik yang berlangsung dapat pula merupakan semacam proses sosialisasi politik. Komunikasi politik horisontal dapat dilakukan dengan melibatkan para elite ke dalam lembaga-lembaga adat atau dengan melakukan pendekatan-pendekatan kultural.
Keberhasilan komunikasi politik akan mendukung terbentuknya komunikasi antara pemerintah dan lembaga-lembaga bawahannya. Kedua komunikasi politik tersebut dapat berhasil asal saja dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat desa itu sendiri. Komunikasi politik baru dapat dikatakan efektif apabila lembaga birokrasi desa telah berhasil mempertemukan komunikasi vertikal dan horisontal. Bila hal ini tercapai, maka masyarakat desa yang pada umumnya masih hidup dalam alam tradisional, sedikit demi sedikit akan terlepas dari belenggu keterbelakangannya. Kemudian secara bertahap dan pasti akan masuk ke dalam lingkup politiknasional.




DaftarPustaka


Arief, Budiman, 1995. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Penerbit Gramedia Pustaka Utama.Jakarta
Adjid, D.A. 1985. Pola Partisipasi Masyarakat Perdesaan dalam Pembangunan Pertanian Berencana.Orba Shakti.Bandung
Effendi, tadjudin N dan Chris manning. 1991. Rural Development and Non-Farm Employment in Java. Resource system Institute. East-West Center. Hawai

Malang, 2002
TUGAS ORGANISASI DAN METHODHA

I. Permasalahan yang diangkat dalam makalah ini adalah
“Sering terlambatnya proses penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah ( LAKIP ) kabupaten setiap tahunnya”.

II. Tempat Kejadiannya : Bagian Organisasi Sekretariat Daerah Kabupaten
Kepulauan Mentawai.

III. Analisa Pemecahan Masalah

Sebelum membahas lebih jauh akan persoalan yang terjadi di atas, terlebih dahulu kelompok kami akan menggambarkan tentang tugas pokok dan fungsi Bagian organisasi pada sekretariat darah kabupaten kepulauan mentawai. Bagian organisasi terdiri atas 3 ( tiga ) subbagian yaitu Subbagian Kepegawaian, subbagian ketatalaksanaan dan subbagian kelembagaan.
Berhubungan dengan tugas penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ( LAKIP ),maka yang paling berperan dalam hal ini adalah bagian ketatalaksanaan, dimana subbag ini mempunyai tugas menyiapkan bahan/data, pembinaan dan petunjuk teknis tata kerja, metode kerja, prosedur kerja dan standarisasi kerja, penyusunan LAKIP lingkup Sekretariat Daerah dan kabupaten, tata naskah dinas, penetapan kinerja kabupaten, pengawasan melekat serta pembinaan pelayanan umum.
Dari uraian diatas maka bagian organisasi khususnya subbagian ketatalaksanaan mengalami kesulitan dan hambatan sehingga proses penyiapan dan penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ( LAKIP ) tahunan seringkali terjadi keterlambatan. Adapun yang menjadi pokok permasalahan sehingga lambatnya penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ( LAKIP ) tersebut adalah :

1. Kurangnya Sumberdaya Manusia.
Sumberdaya dalam hal ini adalah sumber daya yang professional yang mengerti tentang penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ( LAKIP ) ini. Sehingga hal ini merupakan hal yang paling mendasar dalam proses penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ( LAKIP ) baik itu ditingkat Instansi/Dinas maupun Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ( LAKIP ) Kabupaten secara menyeluruh. Maka dalam hal ini pemerintah kabupaten kepulauan mentawai bekerja sama dengan pihak ketiga yaitu BPKP Provinsi untuk secara bersama-sama menyusun Lakip tersebut.disamping itu pemerinyah kabupaten Kepulauan Mentawai berupaya untuk mengirimkan Pegawai-Pegawainya untuk dapat mengikuti pelatihan penyusunan lakip di lembaga yang mengadakan Pelatihan tersebut.

2. Keterlambatan pelaporan dari Dinas/Instansi terkait yang ada di lingkungan Pemerintah Kab.Kepulauan Mentawai.
lambatnya Penyampaian Lakip instansi/ Dinas yang ada di lingkungan pemerintahan kabupaten Kepulauan mentawai, sehingga proses penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ( LAKIP ) tahunan jadi terlambat dari batas waktu yang ditentukan oleh pusat untuk melaporkannya.
Untuk menghadapi permasalahan ini pemerintah kabupaten kepulauan mentawai dalam hal ini bagian organisasi memberikan batas waktu penyampaian dan asistensi LAKIP melalui surat EDARAN BUPATI .

3. Letak geografis.
Secara geografis Kabupaten Kepulauan Mentawai berada dibagian Barat Negara Kesatuan Republik Indonesia dipisahkan oleh Selat Mentawai dengan Pulau Sumatera, yang terletak antara 00 55’ 00’’ - 30021’ 00’’ Lintang Selatan dan 90035’00’’ - 10000 32’ 00’’ Bujur Timur dengan ketinggian 0 – 275 meter dari permukan laut. Panjang garis pantai 758 Km, dan jarak antara Kepulauan Mentawai dengan Kota Padang 90-120 mil.
Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan kepulauan di Samudra Indonesia yang Luas daratan mencapai 6.011,35 Km2 dan garis pantai sepanjang 758 Km, memiliki 256 pulau besar dan kecil, terdiri dari 4 (empat) pulau besar yaitu Pulau Sipora, Pulau Pagai Utara Selatan, Pulau Siberut serta 252 pulau-pulau kecil.

Secara administratif Kabupaten Kepulauan Mentawai dibatasi oleh :
Sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia
Sebelah Timur dengan Selat Mentawai
Sebelah Selatan dengan Selat Sanding
Sebelah Utara dengan Selat Siberut


Kondisi geografis dan alam Kabupaten Kepulauan Mentawai saat ini membuat hubungan antar pulau membutuhkan waktu yang cukup panjang untuk bisa mengakses berbagai informasi yang ada didaerah, sehingga proses pengumpulan data Lakip tersebut jadi lambat mengingat letak Instansi/ dinas seperti kecamatan yang jauh dari ibukota kabupaten.
Maka dengan kondisi geografis diatas, bagian organisasi memberikan informasi dan menyurati Dinas /Instansi dilingkungan pemerintah Kabupaten kepulauan Mentawai jauh-jauh hari sebelumnya.

4. Anggaran.
Persoalan Anggaran merupakan hal yang tak kala pentingnya dari persoalan yang ada selama ini. Dimana dengan Anggaran yang serba terbatas maka proses penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ( LAKIP ) jadi lama, belum lagi proses pencairan Anggaran yang berbelit-belit. Sehingga tidak sedikit pihak yang bekerja sama ataupun pihak ketiga yang ikut dalam penyusunan Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah ( LAKIP ) kabupaten merasa kecewa dengan proses pembayaran dari hasil pekerjaan mereka.
Untuk menghindari proses pencairan anggaran yang berbelit-belit maka bagian organisasi mempunyai stategi tersendiri.sehingga dalam hal pengganggaran maupun pencairan nantinya tidak mengalami kesulitan.

Senin, 02 November 2009

PERDA KAB.KEPULAUAN MENTAWAI NOMOR 17 TAHUN 2009 TENTANG SOTK BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH
(analisa tentang Kebijakan Pemerintah )
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kabupaten kepulauan mentawai adalah salah satu kabupaten termudah di sumatera barat setelah dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, serta Undang-Undang Nomor 49 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Kondisi geografis nya yang terletak di antara samudra Hindia membuat Kabupaten ini rawan akan bencana alam atau lebih dikenal dengan bencana Tsunami.
Dari pengalaman sejarah beberapa puluh tahun yang lalu pernah terjadi Gempa yang berkekuatan +/- 9 skala ricter yang disertai oleh datangnya gelombang laut yang besar. Pada Tahun 2007 tepatnya bulan September, mentawai kembali diguncang gempa dengan kekuatan 7,2 SR dan Baru-baru ini datang lagi gempa dengan kekuatan 6,9 SR, namun tidak berpotensi Tsunami. Goncangan tersebut dirasakan oleh masyarakat padang sumatera barat dimana dengan dinaikkannya status gunung talang dari waspada menjadi siaga.
Maka dengan kondisi seperti itulah Pemerintah Daerah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten kepulauan Mentawai membentuk suatu Badan yang mengelola tentang Penanggulangan Bencana. Kebijakan ini lebih diperkuat lagi dengan menetapkannya dalam lembaran daerah kabupaten kepulauan mentawai dalam bentuk Peraturan Daerah.

B. RINGKASAN KEBIJAKAN

Salah satu bentuk tanggung jawab dan kewajiban pemerintah Daerah dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat dari dampak bencana adalah dengan membuat dan menetapkan Peraturan Daerah Kabupeten Kepualuan Mentawai Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kebijakan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana; Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Adapun tanggung jawab Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan penanggulangan bencana adalah :
a. Menjamin pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana sesuai dengan standar
    pelayanan minimum.
 b. Perlindungan masyarakat dari dampak bendaca.
c. Pengurangan resiko bencana dan pemanduan pengurangan resiko bencana dengan program pembangunan.
d. Pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan belanja Daerah yang memadai.
e. Pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam bentuk dana siap pakai.
f. Pemulihan kondisi dari dampak bencana sesuai kemampuan daerah.
g. Pemeliharaan arsip/ dokumen otentik dari ancaman dan dampak bencana.

Sedangkan wewenang pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu :
a. Penetapan kebijakan penanggulangan bencana pada wilayahnya selaras dengan kebijakan pembangunan daerah.
b. Pembuatan perencanaan pembangunan yang memasukkan unsur-unsur kebijakan penanggulangan bencana.
c. Pelaksanaan kebijakan kerja sama dalam penanggulangan bencana dengan propinsi dan/atau kabupaten/kota lain.
d. Pengaturan penggunaan teknologi yang berpotensi sebagai sumber ancaman atau bahaya pada wilayahnya.

Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana Pemerintah Daerah dalam hal ini pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai membentuk Badan Penanggulangan Bencana yang kemudian ditetapkan melalui Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai, dimana Badan Penanggulangan Bencana ini memiliki tugas pokok yaitu menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan Badan nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana dan menetapkan standarisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan perundang-undangan.
Wewenang pemerintah daerah dalam penanggulangan bencana dapat diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten yang diatur lebih lanjut dengan peraturan daerah.
Dalam hal ini pemerintah daerah kabupaten belum dapat melaksanakan kewenangannya secara maksimal tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak terhadap pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

C. TUJUAN
Adapun tujuan yang ingin dicapai melalui Peraturan daerah Nomor 17 Tahun 2008 tentang Penanggulangan bencana, yaitu :
a. Memberikan perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman Bencana
b. Menyelaraskan Peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
c. Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terorganisir, terpadu dan menyeluruh.
d. Menghargai budaya setempat.
e. Membangun partisipasi dan kemitraan Publik serta swasta.
f. Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan dan kedermawanan.
g. Menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



BAB II
PEMBAHASAN

A. STRATA KEBIJAKAN

Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah kabupaten kepulauan mentawai melalui Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah adalah termasuk strata Kebijakan Umum, karena :
a. Kebijakan serta perlindungannya meliputi seluruh wilayah Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai.
b. Tidak berjangka pendek, sebuah perda tentunya akan berlaku dalam jangka panjang yakni beberapa tahun kedepan, sampai perda tersebut tidak relevan lagi atau diganti dengan perda yang baru sesuai dengan situasi dan kondisi yang akan datang.
c. Strategi tidak operasional, Perda ini hanya memberikan gambaran umum tentang penanggulangan bencana, sedangkan untuk teknik operasionalnya diatur lebih lanjut oleh peraturan Bupati kabupaten kepulauan mentawai.

B. MASALAH PUBLIK YANG DAPAT DI ATASI

Adapun masalah –masalah yang dapat diatasi dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2008 ini adalah :
a. Pencegahan Bencana
Pencegahan bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan resiko bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
b. Penanganan Darurat
Penanganan darurat adalah upaya memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan darurat.
c. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.

d. Rekonstruksi secara adil dan merata
Rekonstruksi adalah Pembangunan kembali semua sarana dan prasaranan kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintah maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial budaya, tegaknya hukum dan ketertiban serta bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.

C. MANFAAT

Manfaat dari Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai Nomor 17 Tahun 2008 adalah :
a. Mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana.
b. Mendapatkan pendidikan, pelatihan dan keterampilan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana.
c. Mendapatkan informasi secara tertulis atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana.
d. Berperan serta dalam perencanaan, pengoperasian dan pemeliharaan program penyediaan bantuan pelayanan kesehatan termasuk dukungan psikososial.
e. Berpartisipasi dalam pengambilan keputusan terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan komunitasnya.
f. Melakukan pengawasan sesuai dengan mekanisme yang diatur atas pelaksanaan penaggulangan benacana.
g. Setiap oang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.
h. Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan ganti rugi karena terkena kerusakan akibat bencana yang diakibatkan kegagalan konstruksi.


BAB III
KESIMPULAN

Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagai sebuah Daerah Otonom dapat mengelolah pembangunan di wilayahnya melalui seluruh sumber daya yang ada di Mentawai, baik kekuatan sumber daya alammya serta kekuatan sosial budayanya. Kebarhasilan pelaksanaan pembangunan di Mentawai akan dinikmati sendiri oleh masyarakat Mentawai. Demikian pula sebaliknya kegagalan dalam menjalankan pembangunan, maka masyarakat Mentawai sendiri yang akan menanggung kegagalan tersebut. Oleh karena itu kekuatan pembangunan yang ada di Mentawai harus dapat bersinergi saling dukung mendukung dalam pelaksanaan pembangunan. Seluruh elemen, baik pemerintah, swasta dan masyarakat harus dapat membangun satu hubungan yang sinergis seluruh daya upaya yang dilakukan oleh ketiga komponan tersebut dapat bermakna positif bagi keberhasilan pembangunan.
Demikian pula halnya dalam penanggulangan bencana. Masyarakat dengan pemerintah setempat harus saling mendukung karena keberhasilan Pembangunan di suatu daerah ditentukan oleh masyarakat, pemerintah serta kebijakan yang diambil.
Untuk itu pemerintah daerah kabupaten kepualuan mentawai dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dalam hal penanggulangan bencana perlu menetapkannya dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten kepulauan mentawai Nomor 17 Tahun 2008 serta lebih rinci diatur dalam Peraturan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 35 Tahun 2009 tentang Tugas Pokok dan Fungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai.



DAFTAR PUSTAKA

- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
- Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah
- Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
- Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana
- Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
- Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai Nomor 17 Tahun 2008, tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai,
- Peraturan Bupati Kepulauan Mentawai Nomor 35 Tahun 2009, tentang Tugas Pokok dan Fungsi Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai.